Bukan Gagal Nikah

Diena Mzr
Chapter #3

2

Kediaman Mulya Djovanto, Jalan Paprika Raya, Jakarta Timur…

GARA-GARA Zodi, aku harus menanggung takdir jadi perempuan sekaligus karyawan yang selalu jadi bahan cibiran karena gagal nikah satu bulan sebelum kami Ijab Kabul!

Kalau saja bridesmaid and groomsmaid-nya bukan teman-teman aku dan Zodi di kantor, nggak akan ada yang tahu kalau aku memilih putus dan nggak jadi menikahinya. Sekarang aku hanya bisa berusaha menebalkan telingaku dan menyampingkan perasaanku agar bisa tetap bekerja di kantor tanpa perlu memikirkan dia lagi. Karena orang yang benar-benar memahamiku nggak akan perlu penjelasan apa-apa dari sikap dan keputusanku. Begitu pula keluargaku yang sangat marah dan kecewa. Jelas, bukan karena kesal sama aku. Karena mereka sudah mendukung dan mengerti kenapa aku nggak jadi nikah sama Zodi.

Aku pikir Zodi masih beruntung karena aku nggak kabur di hari pernikahan kami dan membuat kedua keluarga kami menanggung malu. Menurutku, Tuhan juga Maha Baik. Karena dia memberi tahu informasi penting yang seharusnya aku tahu dan bisa menyelamatkan rumah tanggaku nanti. Atau, mungkin juga aku selamat dari hutang-piutang ini berkat doa orangtuaku yang teramat menyayangiku.

Jadi, seharusnya aku bersyukur Sisil bisa membocorkan informasi ini ke Tori dan nggak marah sama dia. Tapi aku benar-benar nggak peduli lagi kalau Sisil menggosipkan Zodi di belakang kami. Soalnya dia memang sepolos itu, dan Zodi pasti lupa kalau Sisil seperti ember yang bocor meski telah ditambal berkali-kali. Atau, memang karena mereka nggak sedekat aku dan Sisil.

Entah dari mana Zodi tahu kalau Sisil pernah pinjam di aplikasi online. Mungkin juga Sisil yang senang membagi semua informasi ke anak-anak di kantor yang membutuhkan. Dia memang sebaik itu. Tapi kenapa harus soal pinjaman online? Kenapa bukan hal yang lain seperti ada sale butik tersohor 70% gitu atau ada promo tiket jalan-jalan di aplikasi tiket online?

Rekan dan teman-temanku hanya bisa menyayangkan kenapa aku menolak lamaran atau permintaan maaf Zodi. Cibiran mereka masih terdengar dalam benakku, dan aku nggak peduli kalau mereka masih ingin membicarakanku. Mungkin karena mereka tahu aku dan Zodi sudah pacaran selama 10 tahun dan bertunangan selama 3 tahun. Semua ini berkat Sisil. Siapa lagi? Seisi kantor tahu kabar retaknya hubunganku dengan Zodi dari dia. Gara-gara dia membocorkan kabar itu, rekor hubungan kami kian hilang tersapu angin ribut.

Selama menjalin hubungan dengan Zodi, tak pernah sedikitpun dia mengecewakan aku. Tapi untuk urusan hutang-piutang apa pun, aku nggak akan bisa menoleransinya karena itu menentang prinsip hidup aku. Orangtuaku juga selalu menekankan aku untuk nggak berhutang atau mencicil apa pun. Selain merugikan dan bisa membuat aku ingin terus menambah hutangku hanya untuk membuat hatiku senang karena bisa mewujudkan apa yang aku inginkan, aku juga ingin hidup bahagia tanpa beban apa-apa.

“Kamu nggak nyesal, Nel?” tanya Mama yang suaranya masih terisak karena sedih waktu kuberitahu kalau aku tetap ingin membatalkan pernikahanku.

“Nggak, Ma,” jawabku setengah hati. Memangnya siapa yang bisa cepat-cepat lupa rasanya jatuh cinta dan perasaan bahagia setelah dimanja bertahun-tahun? Zodi juga nggak cuma pintar ambil hati aku, tapi juga keluargaku. Makanya dari kemarin Mama sama Papa juga sempat membujuk aku untuk berubah pikiran dan tetap melanjutkan pernikahan kami. Tapi aku nggak mau menyesal karena membawa beban baru setelah menikah nanti.

“Kalo kamu nggak nyesal, Mama yang kesal, Nel. Mama nggak mau makan kalo kamu nggak jadi nikah,” seru Mama dengan nada serius dan membuat aku terpancing untuk marah tapi aku masih mencoba sabar saja.

“Yah, kok gitu?” pekikku heran. Padahal aku sudah menceritakan alasanku dan seharusnya mereka bisa memahami kenapa aku mengambil langkah untuk putus dari Zodi. Selama ini mereka juga yang mendidikku untuk hidup sederhana dan nggak perlu menyulitkan diriku sendiri. Kenapa tiba-tiba Mamaku main drama begini lagi!?

“Pokoknya kamu ketemu dulu orangtua Zodi. Ya!”

Aku menghela napas. “Oke, Ma,” seruku pasrah.

 

ӂӂӂ

 

Di Restoran Jemati, Jaksel…

Dering ponselku terus berbunyi. Apa lagi kalau bukan gara-gara aku membatalkan pernikahanku sendiri, rekan-rekanku di kantor masih terus menanyakan tanpa henti hanya karena mereka belum percaya gosip itu. Tapi di hadapanku sekarang sudah ada Bu Velona, dan Pak Rahmady. Bagaimana aku bisa membalas pesan dan menerima telepon dari teman-temanku yang masuk ke ponselku sekarang kalau pria paruh baya serta istrinya yang masih terlihat muda sepuluh tahun sedang menatapku dengan raut sedih dan heran? Aku buru-buru mematikan volume dering ponselku dan membaliknya hingga mereka tak melihat layarnya menyala terus.

Tadi malam, mereka sudah menghubungiku satu per satu. Iya. Karena Bu Velona hanya ibu rumah tangga, dan Pak Rahmady masih jadi pekerja swasta seperti aku dan anak sulung mereka. Karena Zodi memang dua bersaudara. Nggak seperti aku yang hanya anak semata wayang, dan aku bersyukur terlahir tanpa saudara. Kalau nggak, bertambah lagi satu orang yang akan protes kalau aku mengambil keputusan tergila yang pernah aku tekankan ke orang-orang sekitarku hingga mereka ikut stres.

Mereka semua memang masih terus membujukku untuk berubah pikiran. Tak terkecuali Mama yang bahkan jadi mogok makan gara-gara aku dan saudara kami jadi ikut khawatir.

“Sayang, Bunda menyayangkan keputusan kamu dua hari lalu,” ujar Bu Velona yang dari semenjak aku jadi kekasih Zodi ingin sekali dipanggil Bunda, karena beliau ingin punya anak perempuan yang bisa memanggilnya dengan sebutan itu.

Lihat selengkapnya