Bukan Gagal Nikah

Diena Mzr
Chapter #4

3

 DERITANYA bukan masalah aku sekarang walau aku ikut sedih mendengar Zodi atau orangtuanya akan menanggung cicilan hutangnya. Entahlah. Entah kenapa Zodi terus mengirimkan pesan kalau dia nggak nafsu makan walau aku sudah pura-pura nggak peduli. Karena kalau aku menunjukkan kekhawatiranku, drama kami akan semakin panjang. Seperti Mama yang masih pura-pura puasa di depanku. Soalnya aku tetap nggak mau melanjutkan pernikahanku.

Kalau dipikir-pikir lagi, apa Zodi mulai bertingkah seperti Mamaku sekarang? Hubungan mereka cukup dekat, dan aku punya perasaan kalau dia sedang meniru sikap stres Mama untuk menarik perhatianku juga sekarang. Padahal aku tahu kalau Mama hanya berpura-pura puasa di depanku karena aku tetap nggak mau melanjutkan pernikahanku sesuai rencana. Aku seringkali melihat Mama makan dan minum sambil mencurahkan keberatannya atas keputusanku dan gaya hidup Zodi yang mungkin bisa semudah itu untuk berhutang di hadapan Papa. Mereka ikut bingung.

Apa boleh buat? Seharusnya mereka tahu aku juga pusing. Sekarang bagaimana caranya aku bisa mengirim pesan ke para calon tamu undangan keluarga orangtuaku dan tetangga kami satu per satu kalau aku nggak jadi nikah? Saudara-saudara jauh kami memang cuma jadi calon tamu, tapi kalau tahu pernikahanku benar-benar bubar begini bisa-bisa masalah akan tambah runyam. Mereka pasti akan melabrak keluarga Zodi karena sudah memalukan keluarga mereka dan membuat bibit kesalahpahaman yang baru lagi nanti. Kusut sudah kehidupan cintaku!

Aku tersentak dan hampir saja salah kirim pesan karena tiba-tiba Zodi mengirim satu pesan yang membuat mataku membelalak. Aku urung mengirim pesan ke saudara keluargaku dan mencerna pesan Zodi. Karena dia masih nggak mau aku jadi perempuan yang semakin gila dengan keputusanku yang nggak bisa berubah.

Siapa juga yang mau hidup susah di zaman yang sudah serba mahal begini? Aku sudah menabung untuk pernikahan impianku dan kebutuhan untuk rumah tangga kami di tempat tinggal yang sudah dijanjikan Zodi. Katanya, dia ingin memberiku surpise. Tapi karena kami batal menikah, aku nggak mau tanya soal itu lagi. Aku sudah kecewa sekali. Karena aku juga sudah membuang uangku untuk patungan membeli suvenir, menyewa fotografer untuk foto-foto pra-wedding kami di Bandung, dan membuat kartu undangan cetak. Bukan hanya lewat video yang dibuat oleh editor fotografer kami seperti yang dilakukan Sisil waktu menikah.

Kalau sewaktu-waktu terjadi tragedi kesilapan seperti ini, memangnya aku akan tahu? Bagaimana bisa Zodi mengira aku nggak marah? Justru aku bisa gila kalau aku nggak marah sekarang. Aku langsung mengirim pesan seperti itu dan aku kaget karena tiba-tiba dia meneleponku sekarang.

“Sayang, kita jangan putus, dong!”

Kali pertama aku mendengar suara Zodi malah kata ‘sayang’ yang selalu membuat hatiku lemah dan lumer lagi. Nggak-nggak! Aku nggak boleh selemah ini hanya karena dia memanggilku ‘sayang’ lagi. I love his act of service, tapi bukan keberaniannya untuk berhutang tanpa persetujuanku. Aku nggak mau kami menikah hanya karena dia takut kehilanganku kalau kami nggak jadi akad dan resepsi di Hotel Marrions Island. Padahal orangtuaku juga nggak keberatan kalau kami menikah di gedung serbaguna yang harga sewanya murah.

“Zod, kamu-aku itu udah end. Nggak tahu ya, aku sekarang lagi sibuk ngurusin tamu-tamu yang penasaran dan seakan mau terus menghantui aku dengan semua pesan-pesan mereka sekarang?”

“Makanya, sayang…,” sebelum Zodi mengeluarkan jurus mautnya agar hatiku luluh lagi, aku langsung mendecak hingga dia terdiam karena kaget.

“Zod, jangan panggil aku ‘sayang’ lagi.”

“Kenapa? Aku masih sayang.”

“Pokoknya nggak boleh.”

“Takut masih sayang ya?”

“Nggak. Pokoknya aku nggak mau nikah sama kamu, karena kamu udah bohongin aku.”

“Aku nggak bohong, kok.”

“Trus, kenapa nggak bilang dulu?”

“Ya, itu … bohong sama nggak bilang itu beda, sayang. Aku nggak tahu kalo kamu keberatan begini,” Zodi sendiri nampak bingung menjelaskannya. “Pokoknya kamu nggak perlu meragukan perasaan aku, Nel. Aku udah pasti sayang sama kamu seribu kali dari orang lain.”

“Cuma seribu?” Aku hanya mendengus heran.

Lihat selengkapnya