Bukan Gagal Nikah

Diena Mzr
Chapter #5

4

SEHARIAN ini aku cuma bisa bengong menatap layar laptopku dan nggak fokus setiap kali atasanku ngajak ngomong dengan bahasa Korea. Mataku bengkak karena menangis lagi semalam sambil nonton film Korea drama sedih supaya Mama nggak sedih lihat aku terus menguraikan air mata.

Ditambah aku baru mendapat kabar dari Bu Velona kalau Zody nggak mau mengembalikan uang pinjamannya pagi ini, rasanya lengkap sudah penderitaanku. Karena alasannya cuma nggak mau rugi membayar denda yang harus diberikan di muka kalau ingin melunasinya dan bunganya juga cukup besar. Itu artinya, aku juga tetap nggak mau menikah dengan cicilan hutang.

Jadi setiap melihat Zodi, aku malah melihat tagihan hutang di mukanya. Mengerikan. Hahaha … aku suka tertawa miris sendiri membayangkan hidupku jadi porak poranda begini hanya karena gagal nikah. Jangan sampai gila-jangan sampai gila, pikirku setiap menit.

Bagaimana hidupku nggak berantakan kalau teman-temanku sekarang menatapku bagaikan mangsa yang siap diterkam atau dikasihani? Mereka mengerubungiku bagaikan makanan yang baru matang.

Yeah, gosip terhangat di kantor pagi ini adalah seorang gadis yang masih ting-ting dan hampir bahagia karena akan menikah bulan depan tapi memilih untuk jadi gila karena nekat membatalkan pernikahannya sendiri. Tentunya, tepat sebelum Zodi memberi penjelasan kalau pernikahan kami masih dirembukkan oleh keluarga di grup WhatsApp kantor. Aku nggak peduli lagi penjelasannya dan memilih diam saja. Karena aku nggak mau memberinya harapan apa-apa.

Kalau Zodi ada di sini, aku yakin semua memilih untuk menghindar dariku. Karena takut aku mengamuk saat Zodi terus menghampiriku setelah malam minggu kemarin ini kami berpesta lajang untuk merayakan kebahagiaan hidup baru untuk kami berdua. Sekarang dia nggak ada di ruanganku karena ruangan kami memang terpisah. Sisil dan Tori seakan ingin mengerubungiku seperti makanan yang lezat dan sayang untuk dilewatkan.

“Nel, kita baru dengar lo beneran nggak jadi nikah sama Zodi?” tanya Tori memecah hening ketika aku sudah diajak berkumpul di sudut ruang kantor kami ini karena katanya ada hal penting yang ingin dibahas.

“Ah, yang beneeer? Bukannya Sisil udah ceritain ke semua orang di kantor?”

Tori hanya meringis. Sisil sontak ikut salah tingkah dan menunduk. Sementara aku cuma bisa menatap mereka satu per satu. “Kalian denger sendiri waktu di restoran, ‘kan? Nggak usah pura-pura nggak dengar lagi,” singgungku. Karena tentu saja aku sudah tahu siapa yang menebarkan gosip semudah orang-orang sawer duit di acara dangdutan kalau aku nggak jadi menikah bulan depan.

“Serius, Nel. Gue cuma berharap lo berdua nggak putus,” timpal Sisil penasaran, masih dengan wajah innocent-nya saat menatapku.

Aku tahu dia cuma ingin tahu saja agar punya bahan gosip tambahan. Jadi, apa perlu aku mengangguk lagi!? Nggak. Aku hanya menatap Sisil malas. Karena dialah yang menyebabkan laki-laki kesayanganku punya ide untuk menjauhkan kata pernikahan idamanku dari hidupku yang sudah nyaman tanpa hutang-piutang ini. Walau Zodi nggak sadar akan konsekuensi sikapnya itu, aku hanya bisa memaafkannya dan melanjutkan hidupku tanpa bergantung lagi sama dia.

Apa aku salah kalau menginginkan pernikahan tanpa masalah atau menolak calon suami yang akan membebaniku nanti? Menikah dan memiliki keturunan saja sudah merupakan tanggungjawab yang harus dibawa seumur hidup. Apa lagi di tambah beban hutang.

“Zodi pernah bilang ke gue kalo dia cinta banget sama lo, Nel. Apa aja bakal dia lakuin demi lo. Masa lo mau ninggalin dia? Karena apa?”

Aku mengernyit. Apa mereka sedang pura-pura mengorek alasanku putus lagi? Memangnya perlu aku jelaskan ke mereka sebesar apa hutang Zody? Aku hanya menatap Sisil penasaran karena aku nggak tahu sejauh apa dia dan Tori mendengar percakapan kami malam itu.

Entah kenapa dia bisa seheran itu aku tiba-tiba ingin memutus hubungan dengan Zody. Apa menurutnya hanya ada Zody yang pantas bersanding denganku? Apa cuma dia satu-satunya laki-laki yang akan menghargaiku dan mau menikahiku? Sepertinya Sisil memang tanggungjawab setelah menikah nggak seberat yang akan aku alami nanti sampai-sampai dia menganggap remeh soal hutang Zodi. Aku cuma nggak mau jadi salah satu gadis yang bisa dibeli cintanya dengan hutang.

Aku hanya belajar dari pengalaman kalau orangtuaku sudah nggak sebebas ketika mereka masih muda dan bisa jalan-jalan ke mana saja ketika sudah melahirkanku meskipun Papaku punya gaji yang bisa diandalkan. Seingatku, Mama pernah cerita kalau waktu luang mereka dipakai untuk beli alas popok, pampers, baju bayi, susu, dan lain-lain. Memangnya semua yang menyudutkanku ini mengira semua itu bisa dibeli pakai daun yang metik dari pohon? Aku nggak punya pohon uang kalau menikah dengan Zodi, ‘kan?

Tuhan juga sudah menuliskan takdir Zodi untuk terlahir bukan dari keluarga anak konglomerat yang hartanya nggak akan habis tujuh turunan melewati badai besar sekali pun. Jadi, kami benar-benar hanya seorang anak yang lahir dari keluarga biasa saja dan punya orangtua yang sama-sama bekerja di perusahaan swasta.

“Nel?”

“Iya, Sil. Trus, kenapa kalo gue udah putus dari Zodi?”

“Dia baik banget lho, Nel. Temen-temen di kantor kita juga ikut bahagia waktu tahu lo mau nikah.”

“Lupa ya, mereka nyebut kalian itu pasangan terjodoh abad ini. Dia juga selalu romantiiis banget sama lo, Nel.”

Sisil ikut mengangguk. “Mana ada karyawan kita yang pacaran, tapi tiap pagi dikirimin bunga. Sekarang dia kirimin lo bunga, nggak?”

Aku refleks menggeleng. Entah kenapa aku jadi ikut mencari bunga mawar beberapa menit yang lalu waktu tiba di kantor ini. Barangkali Zody meletakkan bunga mawar merahnya terlalu di pinggir dan jatuh ke kolong meja kerjaku. Ah! Kenapa Sisil jadi bertanya soal itu? Kenapa dia jadi membela Zodi? Apa dia sedang merasa bersalah karena dia sudah membuat hubunganku sama Zodi berakhir?.

“Secintanya gue sama cewek gue, duluuu waktu gue masih pacaran.…”

Lihat selengkapnya