BARU saja aku tiba di ruanganku, jantungku sontak berdebar karena Zodi nampak begitu menawan di bawah sinar lampu kantor kami. Raut wajahnya masih terpantau tampan seperti biasa meskipun ia hanya mengenakan celana jins serta kemeja putih yang terbuka dua kancing atasnya dan sepatu docmart hitamnya yang dulu pernah aku belikan di mal waktu ada sale besar-besaran tahun lalu.
Sorot mataku terus mengikuti langkahnya hingga ke ruangannya. Aku memang senang sekali cari penyakit. Bukannya melupakan dia malah asyik memerhatikan dia lagi. Tapi aku memang suka sekali kalau melihat dia memakai kemeja putih, karena kulit wajahnya jadi terlihat lebih cerah walau memang sudah lebih putih dariku sejak lahir. Dia pasti sudah tahu penampilannya yang seperti itu bisa menggoda imanku, makanya dia sengaja muncul di hadapanku pagi ini dengan memilih outfit itu. Sepertinya dia sedang mencariku, karena dia hanya menaruh tas kulit hitam kerjanya yang selalu diselempang ke pundaknya dan keluar lagi dari ruangannya.
Tapi setelah melihatku, raut wajah Zodi terlihat nggak memesona lagi. Ah! Benar saja. Dia memang seperti laki-laki yang sedang mencari cintanya yang hilang. Karena begitu mata kami bertemu, dia langsung memaksakan diri untuk tersenyum.
“Apa? Jangan ganggu waktuku, Zod. Aku mau kerja. Nanti bos kita datang, kerjaanku belum selesai gimana? Mau translate semua kerjaanku?”
Zodi menggeleng. “Aku cuma mau kasih kamu ini,” serunya sambil memberiku setangkai mawar yang tadi disembunyikan di belakang pinggangnya. “Permintaan maafku semoga diterima kali ini,” tambahnya lagi.
Kenapa dia harus seperti ini sih? Senang sekali bikin hati aku bergetar setiap pagi? Dia memang selalu membuat pikiranku seperti naik ke komedi putar. Ke mana pun aku melayangkan benakku, selalu berhenti di dia lagi-dia lagi. Gemas!
“Good morning! Hey, you guys getting married?” tanya bos kami yang tiba-tiba muncul di tengah-tengah kami dengan raut wajah semringah. Alisnya yang tebal turun naik dengan tambahan senyum bahagia menatap kami. Dia pasti melihat pipiku yang memanas karena harus menerima bunga mawar dari Zodi lagi sepagi ini. “Jadi?” tanyanya lagi dengan logat bahasa Indonesia yang masih kaku. Tapi kali ini dia melirik ke arahku.
Gara-gara si bos ngomong begitu, Zodi yang masih memegang bunga mawar langsung cengar-cengir di depan kami. Benar-benar muka tembok. Aku kembali menatap atasanku dengan sorot mata seriusku dan menggeleng cepat. “Aniyo2, Ahjussi3. No. No one getting married,” seruku nggak kalah sok kebule-bulean seperti atasanku yang gemar sekali nonton film yang bukan dari kampung halamannya di Busan saja.
Bos kami langsung tersentak. “Ops! Mianhae4. I’ll go now,” serunya sambil meringis masam dan meninggalkan kami. Baguslah kalau bos kami cepat-cepat pergi.
Zodi kembali menatapku. “Jadi, maafku diterima, ‘kan? Aku nggak minta yang lain, Nel.”
“Aku juga nggak minta maaf dari kamu lagi. Untuk apa bunga mawar? Aku maunya bunga bank!” pekikku sebal dan melengos pergi. Semoga saja Zodi paham kalau itu memang bukan candaan, tapi ungkapan isi hatiku agar dia tersadar dan bisa mengembalikan suasana hati serta hubungan kami seperti semula sebelum dia berhutang.
“Nel? Kamu kenapa jadi begini?”
“Pikir aja sendiri. Kenapa kamu juga jadi begitu?” pekikku nggak kalah heran, dan Zodi masih saja belum pergi dari meja kerjaku. Aku sungguh berharap ada office boy lewat sambil membawa keranjang sampahnya yang besar agar Zodi ikut melipir. Karena koridor depan mejaku tak begitu besar.
Seharusnya Zodi tahu aku bukan gadis yang begitu materialistis. Aku hanya bilang menikah di Marrions pasti akan jadi kenangan yang paling indah untuk kita. Iya, ‘kita’ sebelum dia mengacaukan bayangan masa depanku yang indah dengan cicilan hutang. Yang benar saja!
Aku hanya bisa menatap Zodi prihatin, karena pengeluarannya untuk menikah denganku sudah begitu besar walau kami belum memulainya. Kalau tahu dia mau berhutang, aku pasti akan melarangnya dan kami menikah di gedung ballroom yang tak semahal ruangan penuh lampu kristal dan pelaminan yang maha megah dengan karpet merah membentang bak Sungai Gangga seperti yang ditunjukkan di salah satu foto paket Gold yang ditawarkan orang pemasaran Hotel Marrions Island.
Aku cuma berharap Tuhan mau menguatkan hatiku untuk nggak beranjak dari kursiku hanya untuk memeluk Zodi dengan harapan kesulitannya akan segera sirna. Aku mungkin akan membantunya tapi nggak sekarang. Mungkin setelah perasaanku juga sudah benar-benar bisa move on darinya dan dia nggak berharap aku kembali.
Aku hanya melempar senyum ke Zodi sebelum dia kembali ke ruangannya, karena atasanku sudah datang dan melihat ke arah kami lagi. Begitu juga karyawan yang ada di sekitar kami dan aku hanya memberi mereka seulas senyum juga untuk yang masih penasaran melihat ke arah kami. Ingin sekali aku bilang, sana balik kerja dan jangan mengurus pernikahanku yang gagal ini!
ӂӂӂ