Bukan Gagal Nikah

Diena Mzr
Chapter #8

7

MOVING on setelah putus tanpa rencana begini memang nggak mungkin bisa semudah aku membalik telapak tanganku. Aku hanya bisa mengisi waktuku untuk menonton film drama yang lucu dan berharap ceritanya berakhir happy ending untuk mengobati rasa kecewaku dengan kenyataan.

Hatiku memang ingin segera berlari dari kenyataan di hari Minggu siang yang cerah ini, juga ingin sekali memandang hidupku sekarang ini bagai berjalan di taman bunga. Aku galau. Karena aku sudah nggak lagi mengemban beban yang begitu berat setelah pernikahanku nanti, tapi aku juga kehilangan orang yang kucintai.

Seharusnya aku bersyukur karena kegagalan pernikahanku ini bisa membawa berkah dalam hidup aku dan keluargaku. Iya. Berkah hidup berumah tangga tanpa berhutang. Bukan malah sebaliknya. Entah kenapa aku terus berharap Zodi berubah pikiran untuk mewujudkan keinginanku sebelum kami pacaran dulu.

Sekarang aku ingin sekali mengisi kegiatanku dengan hal-hal yang menyenangkan. Tapi masalahnya, sudah nggak ada kegiatan yang menarik lagi di mataku selain pulang dari kantor langsung masuk ke kamarku yang jadi seketika rapih dan bersih karena aku butuh kegiatan untuk menghapus pikiranku tentang Zodi.

Termasuk membersihkan barang-barang peninggalan Zodi, alias hadiah-hadiah seperti buku-buku fiksi, boneka, pernak-pernik, gelang, aksesoris, baju, atau apa saja yang terlihat di kamarku dan mengingatkan aku dengan hadiah yang dulu dia kasih untukku.

“Kamu mau bawa ke mana?”

Aku tersentak, dan menoleh karena ternyata Zodi sudah berdiri di belakangku. Aku lihat mobilnya baru saja terparkir di depan tembok samping pagar rumahku. “Kamu ngapain ke sini?”

“Jenguk calon istriku. Kali aja kamu mau jalan-jalan.”

“Masih kepagian. Jangan mimpi. Aku bukan lagi calon istri kamu.”

“Kamu mau buang barang-barang yang aku kasih?”

Aku tersentak, karena Zodi melihat kardusku sekarang. Apa aku menutupnya kurang rapat? Nggak juga. Aku sudah melakbannya. Tapi bagaimana dia bisa tahu? Apa Mama yang memberitahunya saat dia lihat aku sedang packing tadi tanpa berkomentar apa-apa? “Emang ada gunanya aku simpan?” tanyaku balik.

“Ada. Itu bukti cinta aku ke kamu. Nanti kamu nyesal kalo dibuang.”

“Yang mau dibuang siapa? Aku mau kasih ke anak-anak yang lebih butuh barang-barang ini.”

“Aku butuh kamu di hidup aku, Nel. Jangan buang aku seolah kamu nggak sayang lagi sama aku.”

“Kalo kamu cinta sama aku, kenapa kamu harus sembunyi-sembunyi ngambil pinjaman ke orang asing, Zod?”

“Karena aku cinta sama kamu. Makanya aku nggak mau kasih kamu beban apa-apa.”

“Trus, kamu mau makan apa? Isi bensin kamu juga mau pake apa?” tanyaku dengan tawa renyahku, karena uang gajinya saja mungkin akan habis untuk uang cicilan hutangnya. Aku sudah nggak tertarik lagi membahasnya, dan buru-buru menepis tangannya dari kardus di motorku. Tawaku berhenti. “Kamu pulang aja. Aku mau pergi. Aku nggak mau kamu ngomong macam-macam lagi sama orangtuaku.”

“Iya-iya. Aku cuma mau bilang aku masih cinta sama kamu.”

Aku buru-buru meninggalkan Zodi sebelum dia bertanya-tanya lagi aku mau ke mana.

 

***

 

Setelah niatku tertunaikan dan sampai di rumah, aku bisa bernapas sedikit lega. Karena sudah nggak ada lagi barang-barang yang mengingatkan aku dengan Zodi di kamarku ini. Tapi sepertinya perasaanku masih belum tenang.

Sepertinya aku masih butuh distraksi yang baik hampir setiap menit. Karena kalau sedang sendirian begini, aku selalu ingin mengirim pesan atau hanya sekadar video lucu ke Zodi hanya untuk memberi kabar kalau aku sudah sampai rumah. Aku jadi rindu dengan rasa khawatirnya itu kalau aku ingin jalan ke mana-mana sendirian.

Dalam waktu yang begitu singkat, Zodi harus kuanggap sedang pergi jauh dari hidup aku hanya karena dia sudah nggak mau lagi mendengarkan atau menghargai apa yang kujunjung tinggi dalam hidup aku. Aku rasa sendirian juga jauh lebih baik untukku daripada harus bersama dengan orang yang membuatku insecure.

Lihat selengkapnya