NELLY, oh, Nelly, kenapa kamu harus gugup seperti ini? Aku hanya menanyakan hatiku sendiri dari tadi karena Jedy benar-benar sudah terang-terangan mengajakku makan siang di depan teman-teman kantor yang melihat ke arah kami di lobi. Sisil dan Tori juga melirik penasaran tanpa berkomentar sama sekali. Terkecuali Zodi. Aku nggak menemukan batang hidungnya yang mancung di sekitar kami. Bukan berarti dia menghilang, tetapi dia mungkin masih ada di ruang kerjanya. Karena aku sudah memilih turun lebih cepat untuk makan siang dengan Jedy.
Meski belum genap satu bulan aku dan Zodi putus, aku berharap bisa membuka hatiku untuk yang baru. Aku nggak peduli gunjingan siapa-siapa. Atau, kalau Zodi tahu aku jalan dengan pria lain dan membuat hatinya akan benar-benar kebakaran. Aku juga nggak mau membuat kesalahpahaman antara kami. Tapi aku harus bisa melanjutkan langkahku tanpa perlu melihat raut wajah Zodi yang seakan masih menghantui penglihatanku.
“Berat ya, Nel?”
Aku tersentak dari lamunanku. “Apanya?” perasaan aku nggak bawa apa-apa. Aku meringis karena hanya bertanya sepolos itu. Aku benar-benar nggak paham dengan pertanyaan Jedy.
“Karena nggak jadi nikah sama pasangan kamu,” jawab Jedy.
Oh, well … akhirnya kekhawatiranku harus ada sekarang. Karena aku lihat sorot mata penasaran Jedy dari balik kemudinya. “Nggak, Dy,” aku tersentak dengan memanggilnya seperti dulu. Tapi sepertinya dia nggak keberatan. Karena aku melihat senyumannya.
“Syukurlah.”
Aku mengangguk, masih ingin tahu kenapa dia masih mengingatku setiap hari padahal hubungan kami juga sudah berakhir dan aku sudah nggak berharap dia lagi sedikitpun. Terpikir untuk bisa bertemu Tedy lagi saja nggak pernah semenjak aku lulus SMA. Karena tiga tahun di jenjang itu, aku sudah gonta-ganti pasangan seperti makan kacang rebus. Setelah putus, aku langsung bisa move on ke yang lain. Nggak pernah ada yang serius. Semua mantanku seakan tahu aku bukan gadis SMA yang menarik untuk dijadikan kekasih.
Fokusku memang bukan untuk menjadi party pooper saat itu dan beberapa yang mendekatiku untuk jadi pacar memilih untuk jadi pasangan yang bisa mengajakku bersenang-senang menikmati masa remaja kami saja demi melepaskan penat mengejar kenaikan kelas atau lulus dari sekolah.
Aku hanya menyayangkan keputusanku karena batal menikahi Zodi, berarti aku harus melepas calon mertua seperti Bu Velona dan Pak Rahmady.
“Kalo kamu masih sedih, jangan dipendam terus. Nanti malah jadi tambah lukanya,” sahut Jedy memecah hening.
Aku mencelos dan mengangguk saja. “Iya.”
“Kalo aku jadi dia, sepertinya aku nggak akan maksain diri untuk menikahi seseorang dengan hal-hal di luar kemampuanku.”
Aku terkejut dan menatapnya lagi, lalu mengangguk setuju. “Selain kamu tahu alasanku nggak jadi nikah, apa lagi yang kamu tahu?”
Jedy menatapku sejenak, dan tersenyum kecil. “Nggak banyak, Nel. Karena itu aku mau tahu kamu lebih jauh kalo kamu nggak keberatan. Soalnya aku cuma dengar gosip soal itu dari seseorang. Ternyata itu benar?”
Aku hanya tertawa dengan pandangan nanar menatapnya. Karena baru saja aku mengatakan pertanyaan yang sudah jadi jawaban yang sebenarnya pada Jedy. Seharusnya aku nggak bertanya dan membiarkannya saja mendengar kalau itu hanya gosip. “Aku jadi penasaran siapa orang itu,” sahutku berusaha mengalihkan perhatiannya. Aku memang belum tahu banyak tentang dia, tapi aku nggak bisa menanyakan soal kehidupan atau pekerjaannya sekarang. Hubungan kami masih seperti mangga muda.
Jedy malah tertawa lepas mendengar celetukanku. “Dia bukan siapa-siapa,” sahutnya.
Aku mengangguk saja. Apa dia bahagia karena aku nggak jadi menikah? Atau, apa dia mengira aku akan ikut tertawa bersamanya untuk mengusir kesedihanku? Tapi aku sedang ingin menangis karena sudah gagal menikahi laki-laki yang selama ini aku anggap begitu tepat untuk jadi imamku. Tapi kenalannya yang ada keturunan dari Korea itu sudah berjasa karena bisa mempertemukan aku dengan Jedy walau aku nggak berharap untuk itu.