AKU dan Jedy baru saja tiba di parkiran restoran Manado karena aku ingin makan yang pedas-pedas seperti sedang ngidam saja. Padahal aku cuma ingin melampiaskan emosiku berhari-hari ini dengan bumbunya yang spicy dan berharap air mataku yang bisa tiba-tiba turun akan dilihat Jedy kalau lidahku hanya sedang kepedasan.
Baru saja Jedy mematikan mesin mobilnya, tiba-tiba aku melihat sebuah mobil listrik warna putih yang cukup familiar di mataku melaju dan berhenti tepat di depan mobil Jedy. Sekilas aku melihat Jedy juga langsung menatap ke mana arah mataku memandang. Aku mengira mobil itu mau parkir karena di seberang mobil Jedy masih kosong untuk satu mobil.
Aku terperanjat ketika melihat pengemudinya. Karena ternyata Zodi yang turun dari mobil itu dan berdiri di depan kap mobilnya sambil melihat ke arah kami. Apa dia tahu aku naik mobil Jedy sejak di parkiran kantor? Ya, Tuhan! Mau apa dia di sini?
Aku menoleh ke Jedy dan tak kusangka dia sudah menatapku sekarang. Aku meringis karena sorot matanya sangat penasaran saat menatap Zodi. Aku rasa sekarang dia tahu kalau Zodi adalah mantan tunanganku. Karena dia pasti melihat sorot mata Zodi yang terlihat begitu cemburu sekali saat menatap kami.
“Nel,” sahut Jedy dan aku tersentak saat menatapnya dengan jantungku yang sedikit berdebar. Aku sampai nggak bisa lagi membedakan arti debaran ini untuk siapa.
“Aku tunggu di dalam,” sahut Jedy singkat seraya tersenyum walau aku merasa itu hanya senyum yang agak dipaksakan karena aku sudah tahu perasaannya benar-benar ada padaku.
Aku hanya menatapnya nanar karena Jedy juga seperti sedang menahan rasa cemburunya. Apa makan siang pertama kami harus dibumbui oleh kecemburuan mereka berdua? Yang benar saja. Aku sudah seperti ikan yang megap-megap butuh udara segar. Aku segera membuka pintu mobil Jedy, tapi tiba-tiba Jedy menahan lenganku dan bergegas turun dari mobil. Karena ternyata dia mau membukakan pintu mobilnya untukku.
Saat melewati Zodi, aku melihat mereka saling melempar pandangan dingin saat Jedy melangkah melewatinya meski tanpa sepatah kata. Aku hanya menelan salivaku. Kenapa perasaanku jadi nggak enak ke Jedy? Padahal kami hanya ingin makan siang sebagai teman saja. Kenapa bukan ke Zodi saja perasaan ini tertuju? Apa aku benar-benar sudah berpaling darinya karena kehadiran cinta pertamaku?
Jedy hanya mengukir senyum saat aku menyambut tangannya yang terulur dan melangkah turun. Setelah menutup pintu, tanpa basa-basi dia meninggalkan kami berdua. Sebelum masuk ke restoran, aku sempat melihat Jedy kembali menoleh ke arah kami. Saat aku menatap Zody lagi, lirikan matanya terlihat tajam sekali setelah mengikuti ke mana arah mataku tertambat.
“Nel? Itu siapa?”
Aku menahan emosiku dalam-dalam mendengar pertanyaan polos Zodi. “Seharusnya aku yang tanya, kenapa kamu ke sini?”
Zodi nampak bersalah menatapku tapi rahangnya yang kotak masih menegas setelah melihat Jedy. “Baru juga dua minggu kita putus, kamu udah jalan sama laki-laki lain.”
“Bukan urusan kamu.”
Zodi mengangguk. “Iya. Aku tahu. Aku cuma mau minta maaf kalo hari ini Bunda datang lagi untuk kasih makanan kesukaan kamu, Nel. Tapi bukan aku yang suruh. Itu memang udah kemauannya sendiri.”
“Iya. Paham.” Dari dulu Bu Velona memang sudah melakukannya dengan senang hati karena ingin mengambil hatiku sebagai calon menantu yang sudah disukainya dan dianggap seperti anak perempuannya sendiri. “Trus, udah? Itu aja?”
“Nel?”
“Aku nggak mau telat balik ke kantor gara-gara kamu ngikutin aku sampai ke sini.”
Zodi menggeleng. “Bunda ingin kamu ketemu teman-teman dekatnya.”
“Untuk apa?”
“Ya, untuk menjelaskan kenapa kita nggak jadi nikah.”
“Kamu mau aku buka semua niat kamu berhutang di aplikasi online untuk pesta pernikahan kita yang indah itu?”
Zodi menggeleng.
“Trus?”
“Aku juga nggak mau kamu membicarakannya. Aku cuma mau kamu bilang kalo kita hanya punya masalah yang belum diselesaikan.”
Aku mencelos. “Masalah kita udah selesai, Zod. Kita udah putus. Biar aja mereka tahu. Kalo cuma itu gunanya aku datang menemui semua kenalan Bunda atau Ayah kamu nanti, kamu wakilkan aja bisa, ‘kan?”
Zodi nampak menelan air salivanya dan menatapku nanar seolah dia memang nggak terima aku menolak datang. Tapi aku benar-benar nggak mau menemui mereka karena aku sendiri juga bingung harus bagaimana menolak kebaikan mereka nanti kalau mereka masih membujukku seperti yang dilakukan orangtua Zodi.
“Kalo kamu nggak mau, kita ketemu Bunda di rumah aja ya? Soalnya dia udah bilang ke semua saudara kami. Termasuk saudara Ayah di Jawa, Nel. Mereka terkejut waktu orangtuaku bilang kita nggak jadi nikah. Aku cuma mohon pengertian kamu untuk bersikap manis kalau kita ketemu mereka.”
“Memangnya siapa yang mau ketemu sama mereka? Kamu aja. Itu kan, saudara kamu semua. Aku udah bukan siapa-siapa kamu lagi, Zod.” Pertemuan keluarganya hanya akan membuat hatiku semakin merasa bersalah karena telah membatalkan pernikahanku sendiri tanpa memikirkan bagaimana perasaan seluruh keluarganya sekarang. Tapi mereka nggak akan menanggung deritaku nanti.
“Please, Nel. Jangan egois begini.”