“UDAH selesai?” tanya Jedy saat aku sudah menemukan mejanya.
Aku mengangguk dan menoleh ke belakang. Ternyata Zodi sudah memesan makanan. Aku nggak peduli dia mau duduk di mana asal bukan di dekatku dan Jedy. Karena restorannya nggak terlalu besar dan hanya ada satu etalase panjang berisi makanan dengan masakan Manado serta beberapa pasang kursi atau meja untuk pelanggan, aku bisa dengan mudah melihat Jedy yang duduk di dekat ujung etalase makanan.
Namun baru saja aku ingin duduk, Zodi nampak melangkah ke arah kami. Senyumku untuk Jedy seketika hilang karena Zodi sudah menghampiri kami sambil membawa sepiring nasi dengan lauk pauknya yang isinya ayam woku dan sambal dabu-dabu. Mau apa dia? Perasaanku langsung nggak enak saat mendongak menatap matanya.
“Kursinya penuh. Apa aku boleh ikut duduk di sini, Nel?”
Hah? Yang benar saja? Aku menatapnya heran mendengar pertanyaan Zodi, tapi Jedy langsung mengangguk dengan raut wajah yang sulit sekali kujelaskan ekspresinya dengan kata-kata. Mungkin dia hanya sekadar penasaran Zodi mau melakukan apa di hadapan kami berdua.
Aku mengedarkan pandanganku dan memang nggak ada kursi kosong di sekeliling kami sekarang. Aku baru ingat kalau ini sudah masuk jam makan siang. Aku mengajak Jedy makan di sini, karena aku dan Zodi belum pernah datang ke restoran keluarga ini.
“Silakan. Kursinya kosong. Tapi yang di depan kita udah nggak available lagi untuk kamu.”
Aku tersentak Jedy bisa berseru setenang air danau Toba saat mengucapkannya sambil menatap Zodi dan kembali membalas tatapanku dengan serius seolah dia memang sedang ingin melamarku secara nggak langsung. Tapi ketika aku beralih melihat Zodi, dia hanya menarik napas seolah sedang menahan emosinya dan aku harus sekuat tenaga menahan tawaku karena sorot mata Zodi nampak membara ketika Jedy mengatakan hal itu. Entah itu serius atau bukan, tapi aku terhibur dia bisa mengatakannya di depan mantanku ini.
“Kamu nggak makan? Katanya tadi laper? Aku ambilin ya? Aku yang lebih tahu kamu mau makan siang apa….”
“Nggak perlu,” seruku tegas dan kembali menatap Jedy dengan senyuman di wajahku. Aku masih terbuai oleh ucapannya tadi. Semoga saja pipiku nggak merona merah sekali hingga dia menyadarinya. Entah kenapa aku jadi salah tingkah begini di depannya.
Aku kembali melirik Zodi. Apa kamu nggak bisa minggir sedikit? Atau, menghilang sekalian, Zod? Karena aku ingin sekali reunian dengan Jedy sekarang. Ya, Tuhan! Apa yang sedang kupikirkan? Aku nggak berniat untuk bersenang-senang di atas penderitaannya dan keluarganya sekarang. Kalau dipikir lagi memang sungguh menyedihkan karena hubungan kami harus berakhir seperti ini.
Seandainya saja Zodi nggak mengenal Sisil, mungkin kejadian ini nggak akan pernah ada dan aku sudah dipanggil Ibu Mahendra. Seharusnya kutegaskan saja dari awal kalau aku nggak mau menikah dengan berhutang. Aku nggak tahu kalau dia memang nggak begitu memahamiku kalau aku lebih memilih bunga bank daripada bunga hutang kalau memang hanya ada dua pilihan itu di depan mataku.
“Mau makan apa, Nel?”
“Bunga…,” aku tersentak dan meringis karena ucapanku yang sedikit melantur. “Maksudku, bunga pepayanya pasti enak.”
Jedy mengangguk paham.
“Kamu bukannya nggak suka yang pahit-pahit, Nel?” celetuk Zodi sambil makan.
Aku hanya mendengus. Memangnya aku tahu kalau bunga papaya itu rasanya pahit. Kalau soal perut, Zodi memang pemakan apa saja dan tahu jenis makanan apa yang nggak pernah aku makan. Dia juga selalu nggak ingin duduk lama-lama di kafe atau restoran dan bisa lebih cepat menghabiskan makanannya daripada aku. Seharusnya dia makan saja, dan nggak perlu berkomentar ini-itu. Sudah nggak jadi menikah, masih saja mengganggu pikiranku juga.
“Yang penting nggak sepahit hidup aku sekarang,” tuturku apa adanya dan aku kaget sekali ketika tangan Jedy tiba-tiba menyodorkan segelas es teh manisnya padaku.
“Ada teh manis ini, hidup kamu nggak akan pahit lagi, Nel,” sahut Jedy dengan senyumannya yang membuat hatiku meleleh lagi saja.