“MENIKAH mungkin nggak selalu menjanjikan kamu kebahagiaan. Paling nggak, dia bisa berusaha untuk itu. Bukannya malah mengecewakan kamu dengan mengambil keputusan yang salah,” ungkap Jedy.
Sepertinya dia penasaran sekali dengan masalahku. Namun, aku terlalu malas menjelaskannya. “Sebenarnya bukan itu. Dia …,” sejenak aku jadi mengingat semua sikap Zodi setelah kami memutuskan untuk menikah. Dia selalu bilang kalau aku harus bahagia kalau bisa tinggal satu atap bersamanya nanti dan kalau ada sesuatu yang aku inginkan hanya perlu kuungkapkan saja. Tak kusangka akhirnya malah begini. “…pokoknya ada sesuatu yang nggak bisa aku jelaskan ke kamu, Dy. Maaf.”
“Nggak ada yang perlu dimaafkan, Nel. Kamu mau makan di mana?”
Aku lega Jedy nggak mempertanyakan soal itu lagi. Tapi sejujurnya nafsu makanku sudah kembali hilang. Entah karena aku melihat Zodi cemburu karena kehadiran Jedy. Atau, karena aku nggak mau dianggap cepat sekali berpaling dari cinta kami yang selalu kubanggakan selama ini. “Kamu mau di mana?” lirihku tak bersemangat.
“Di mana aja, asal ada kamu,” jawab Jedy sambil mengukir senyumnya yang selalu membuat hatiku yang gersang seketika menjadi sejuk.
Dia memang paling bisa menggelitik perutku. Ah, aku baru ingot Zodi sempat mengikutiku dari kantor. Apa dia ada di belakang mobil Jedy? Sontak aku menoleh ke spion.
“Kamu berharap dia ngikutin kita lagi?”
Aku menggeleng. “Nggak. Aku minta maaf, Dy. Makan siang kita jadi kacau begini.”
“Kamu nggak berubah ya?”
Aku mengernyit.
“Selalu merasa nggak enak meskipun bukan kamu yang salah.”
Jedy juga nggak berubah di mataku. Walau dia sudah terlihat semakin dewasa dan memiliki pekerjaan yang bagus. Entah apa. Aku nggak mau menyelaminya terlalu jauh. Tapi biasanya orang baru yang datang ke kantor untuk rapat dengan atasanku nggak jauh-jauh dari penanam modal, rekan lamanya, dan direktur yang bergerak di perusahaan dengan bidang yang sama. Kalau Jedy kenal dengan asisten kliennya, berarti dia bukan rekan lama atasanku.
“Kenapa kamu melihatku terus? Apa ada yang mau kamu tanya?”
Aku cepat menggeleng. Aku masih canggung bisa duduk di sampingnya seperti ini. “Nggak apa-apa, Dy.”
“Apa kamu nggak mau tanya kenapa aku bisa kenal dengan klien atasan kamu?”
Aku tersentak. Apa dia memahami rasa ingin tahuku soal itu? Aku hanya tersenyum tipis. “Sedikit.”
“Aku minta bantuan Angel, sekretarisku untuk menemani karyawan produksiku untuk bisa bekerja sama dengan kantor kamu.”
Ooh ... jadi dia punya perusahaan sendiri. Aku yang hanya karyawan memang nggak bisa dibandingkan dengan Jedy.
“By the way, apa Zodi masih berharap sesuatu dari kamu, Nel?”
Aku hanya mengangkat bahuku. Karena yang kutahu Zodi hanya ingin menikah denganku dan aku rasa Jedy nggak perlu lagi tahu soal itu. “Kenapa kamu bertanya soal itu?”
“Karena kamu nggak mau mengenalkan aku dengan dia tadi.”