MEMBACA pesan Zodi, sepertinya aku nggak bisa menghindar dari keinginan keluarganya. Semakin aku menjauh, mereka malah semakin baik. Karena pagi ini ada parsel buah-buahan dan bunga yang dikirim untukku. Aku mengira itu dari Zodi. Tapi ternyata dari Bu Velona yang ingin menghibur perasaanku atas sikap anak laki-lakinya itu. Dia ingin aku tetap bahagia walau tak bersama Zodi lagi, dan berharap aku bisa tetap bertemu dengannya di rumah walau untuk sekadar menyambung tali silaturahmi di antara kami lagi.
Padahal seharusnya Bu Velona atau keluarganya bisa membenciku dan melupakan hubungan erat antara dia dan kakekku yang sudah meninggal. Karena kejadiannya sudah lama sekali. Aku juga ingat cerita kakek kalau Bu Velona sudah dianggap seperti anak sendiri, karena itu dia mau memberikan kesempatan untuk bisa berbisnis dengan Pak Rahmady yang saat itu tengah mencari rekan bisnis untuk mengembangkan usaha kateringnya sebelum dia kembali bangkrut dan uang mereka habis untuk menutupi hutang-hutang mereka dulu.
Kakekku, Pak Bram, pernah mengenal Bu Velona saat membeli makanan di kateringnya. Ketika itu, dia seperti melihat sosok anak perempuannya yang tengah meninggal dulu. Karena raut wajah Bu Velona sedikit mirip dengan anaknya dulu. Nggak heran, kakekku jadi seringkali langganan di katering Bu Velona dan mau memberi bantuan dana untuknya. Namun, ternyata Bu Velona salah perhitungan dan bertemu pelanggan yang selalu membatalkan pesanannya hingga memberinya review yang tak baik hingga dia mengalami bangkrut.
Mungkin Bu Velona bisa merasakan kalau aku menjauhinya untuk menyembuhkan lukaku karena nggak jadi nikah. Tapi di hadapan mereka, yang terbayang olehku malah raut wajah Jedy yang sangat berharap aku bisa membalas cintanya.
Akhirnya aku terpaksa menuruti keinginan Zodi untuk bertemu keluarganya di rumah mereka dan mendengar apa yang mereka pikirkan sekarang. Mungkin aku harus mengakhiri harapan mereka hari ini. Entahlah. Aku belum tahu kenapa Zodi mengajakku bertemu keluarganya. Tapi tak kusangka aku bukan hanya bertemu orangtuanya saja, tapi juga beberapa saudara jauhnya sudah berkumpul di sini. Yang kukenal mungkin hanya bisa kuhitung dengan jari, tapi mereka tahu namaku saat aku datang dan kami hanya saling melempar senyum saja.
“Nel? Kamu kurus banget. Makan yang banyak ya?”
“Iya, Kak Nelly. Kalo aja Bang Zodi bisa nikah sama Kak Nelly, aku bisa bikinin Kak Nelly makanan yang enak-enak lho! Soalnya, Bang Zodi ‘kan doyan makan meski badannya nggak gemuk-gemuk.”
Aku menatap Ade –adik Zodi yang sudah berharap sekali aku bisa menikah dengan Zodi. Aku kira dia sudah membenciku karena aku mengambil keputusan untuk lari dari rencana pernikahanku sendiri. Ternyata aku salah. Semua keluarga Zodi yang datang dan duduk di ruang tengah bersamaku masih berharap aku berubah pikiran. Sepertinya aku memang nggak perlu datang ke acara kumpul keluarga seperti ini dan makan malam saja dengan Jedy karena dia sudah mengajaknya sejak malam Rabu kemarin.
“Dulu, waktu Bunda mau nikah sama Ayah juga pusing ngatur keuangan, Nel. Bunda maunya begini, Ayah maunya begitu. Ya, nggak ketemu.”
“Tapi akhirnya gimana, Bun? Bunda nggak pernah cerita sama Ade.”
“Ya, ngapain Bunda cerita kisah yang cuma bikin malu kalo Bunda ingat lagi.”
“Emang malu kenapa, Bun?”
“Nikah sama Ayah udah direncanain baik-baik, eh, Ayahnya kena demam berdarah. Ya, semua keuangan yang udah dipersiapkan terpaksa untuk bayar biaya rumah sakit dan berobat Ayah dulu. Belum lagi usaha katering Bunda yang bangkrut. Padahal kakak Nelly itu pelanggan setia Bunda. Dia sampai support Bunda dulu. Bunda inget banget, waktu itu Zodi baru kenalan sama Nelly juga. Tapi dunia ini memang sempit kan, ya. Ketemunya pasti orang itu lagi-orang itu lagi. Kalo kamu mau usaha, harus hitungkan matang-matang ya, De. Jangan sampai kayak Bunda.”
“Iya-iya. Terusin, Bun?”
Aku hanya menyimak cerita Bunda dan reaksi Ade yang begitu antusias. Sementara Zodi hanya duduk di hadapanku menatapku lekat.
“Udah, ah! Bunda nggak mau cerita gratisan lagi. Kalo Ade mau dengar lanjutannya ya, bayar ke Bunda ya!?” tanya Bunda sambil menengadahkan tangannya ke Ade.
“Iyo, wani piro, De!?” seru yang lain sambil terkekeh. Sepertinya itu salah satu saudara dari Ayah Zodi yang datang dari Jawa. Tapi aku belum pernah melihat gadis seusia remaja dan berambut lurus namun lebih pendek dariku itu.
“Iih, Bunda jadi matre,” seru Ade terheran, dan aku hanya meringis masam.
Ayah, Zodi, dan saudara-saudaranya yang nggak bisa kuingat namanya satu per satu juga tertawa mendengar gurauan Bunda.
“Selama ini Bunda terus yang kasih uang jajan ke kamu. Gantian dooong! Kalo kamu mau dengar lanjutannya,” lanjut Bunda.
Yang lain ikut mengangguk setuju saja. Dari dulu, Bunda memang sayang dengan anak bungsunya dan selalu ingin bercanda dengan Ade. Aku menatap keduanya dengan senyum tipis.
“Nggak jadi, Bun. Nggak jadi. Mending aku masak buat Kak Nelly aja deh.”
Semua sontak tertawa renyah mendengar candaan Bunda dan reaksi kecewa Ade.
“Yang enak ya, De! Udah cucok kamu jadi koki untuk prasmanan Abang kamu nanti,” celetuk saudaranya yang lebih muda dari Ade.