KELUARGA Zodi masih menatapku saat kembali dari paviliun. Sementara itu, aku melihat Zodi duduk di teras paviliun dengan pandangan kosong. Rumah ini memiliki kaca jendela yang bening dan berukuran besar sekali, dan aku bisa melihat keresahan di matanya.
“Nel,” panggil Bu Velona.
Aku tersentak dan menatap Bu Velona sudah nggak duduk di sofa ruang tengah yang tak jauh dari ruang kosong besar di antara ruang tengah dan dapur karena wanita itu sudah menghampirinya. “Iya, Bun?”
“Kamu nggak sedih ngelepas semua yang udah kamu dan Zodi perjuangkan, Nel?”
Kalau dibilang sedih, hati kecilku sudah terpotek jadi seratus bagian. Soalnya semua sudah dipesan sesuai rencana kami berdua. Apa lagi aku sendiri yang turun memilih semuanya waktu Zodi ingin menuruti saja keinginanku dan keluarga kami langsung bahagia sekali saat tahu dia bisa memenuhi impianku menikah di Hotel Marrions Island.
Dari mulai pemilihan gedung, pakaian adat Jawa modern warna putih yang kembang brukatnya cantik sekali, sampai dekorasi dan makanannya yang sudah direncanakan akan mengandalkan kemampuan Ade. Wedding organizer-nya juga salah satu kenalan dari Ade yang keluarganya pernah menyewanya dan nggak pernah mengecewakan.
“Dari kecil Zodi nggak pernah punya banyak teman apa lagi pacar. Tapi kali ini Bunda lihat kalo dia memang serius mau nikah sama kamu. Coba lihat dia sekarang. Kesalahannya pasti karena dia sayang banget sama kamu. Sampai-sampai dia nggak mau berbagi masalahnya ke kamu.”
Apa iya Bu Velona benar-benar memahami Zodi kalau berita hutangnya saja baru ia dengar? Tapi aku mengangguk paham saja karena nggak mau membuatnya semakin kecewa karena tahu Zodi sudah diam-diam berani berhutang sebanyak itu hanya demi pernikahan kami. Aku hanya merasa Bu Velona tak benar-benar memahami aku dan rasa khawatirku. Aku memang menyayangkan semua acara indah aku dan Zodi nggak jadi terlaksana. Tapi aku melakukannya demi kesehatan mentalku di masa depan juga.
Aku ingin rumah tanggaku sehat wal’afiat. Alias bebas hutang, bebas cekcok sama mertua, dan bebas finansial di mana kalau aku mau belanja nggak perlu lagi memikirkan masih ada hutang atau cicilan yang harus aku bayar sampai aku harus mengirit hari demi hari. Apa lagi Zodi baru jadi calon suamiku. Aku sedih sekali waktu dia bilang masih punya banyak dana untuk menikah dengan acara impian kami berdua, karena kenyataannya nggak seperti itu.
Untungnya Bu Velona dan Pak Rahmady nggak marah lalu membenciku karena keputusanku. Tapi kebaikan mereka sekarang membuatku nggak bisa bicara sebanyak biasanya.
“Iya, Kak Nelly. Setahu aku, Abang nggak suka ngutang lho! Baru kali ini aja dia rela berkorban demi Kakak.”
Lintang ikut mengangguk mendengar ucapan Ade walau tangannya masih memegang codet stainless-nya.
Aku lihat Zodi beranjak dari kursi di teras dan menghampiri kami. Sebenarnya Zodi sudah banyak sekali pengorbanannya. Kecil atau besar, aku menganggap sikapnya yang dulu sudah sangat membuat hatiku tertawan padanya.
Zodi memang baik dan nggak pernah marah-marah. Kalau kami sedang makan bareng, dan dia pesan makanan seringkali selalu membagi makanannya untukku saat aku terlihat menginginkannya juga. Dia selalu memilih untuk mendengar keinginanku daripada memaksakan kehendaknya. Tak heran, kali ini dia berani berhutang sebesar itu.
“Lagi ngomongin aku ya?”
Aku tersentak dari lamunanku. Ade dan Lintang pun langsung melipir ke dapur lagi.
“Emang kenapa?” tanya Bu Velona. “Ngomongin yang baik-baik ‘kan, nggak apa-apa,” lanjutnya sambil berdesis pelan. “Emang kamu nggak mau jadi nikah beneran sama Nelly?”
Zodi langsung menggeleng cepat dengan raut wajah seperti anak kecil yang kehilangan permen. “Ya, nggak, Bun. Aku cuma nanya kok.”
“Assalamu’alaikum,” sapa seorang gadis dengan suaranya yang agak melengking.
“Walaikumsalam,” jawab kami serentak.
Aku sontak ikut menoleh ke arah pintu depan rumah ini yang letaknya ada sekitar lima meter di belakang posisi kami sekarang.
“Layna, kebiasaan kamu. Telat mulu kalo disuruh kumpul-kumpul,” sahut Bunda.
“Iya, maaf, Bun. Nggak apa-apa telat dikit, yang penting Bang Zodi jadi nikah, ‘kan?”
Aku hanya meringis melihat gadis dengan postur tubuh selangsing diriku ini. Sepertinya dia memang belum tahu apa-apa. Karena raut wajahnya terlihat semangat sekali.
“Belom,” celetuk Pak Rahmady yang sejak tadi hanya duduk sambil nonton bola.
“Oh,” gadis remaja bernama Layna itu mengangguk.
Aku belum pernah melihatnya, tapi Zodi pernah cerita kalau saudara sepupunya ada yang ingin membantunya mengatur acara dan menjembatani antara wedding organizer dengan keluarganya. Tapi sayangnya dia selalu telat datang di setiap acara keluarganya.
“Padahal aku udah beli perlengkapan untuk wedding kamu, Bang. Biar kita jadi gampang komunikasi pas acara,” sahut Layna dengan raut sedih menatapku.
Sepertinya aku sudah mengecewakan banyak orang karena nggak jadi nikah sama Zodi. Aku nggak bisa ngomong apa-apa dan seketika menyesal memenuhi undangan Zodi. Dari tadi dia juga diam saja dan bukannya membelaku. Tapi rasanya nggak perlu ada pembelaan karena mereka hanya bicara apa adanya dan nggak pernah menyalahkan aku.