“SISIL!” Aku memanggilnya dengan lambaian tanganku agar dia menghampiriku ke mejaku. Karena dia memang masih asistenku di kantor.
“I-iya, Nel? Kenapa? Bos marah-marah ya? Aduh! Gue pasti salah ketik lagi deh! Kayaknya gue harus ikut kursus Korea lagi ya biar jadi tambah lancar kayak lo.”
“Bukan. Gue yang marah-marah. Aigooo!” kataku dengan tegas dan tatapan heran yang kulayangkan pada gadis berambut sebahu ini.
“Lah? Kenapa lo jadi marah-marah?”
Sepertinya Sisil nggak ada takut-takutnya aku marah. Karena saat aku duduk di kursiku, dia malah menghampiri sambil cengar-cengir dan memangku wajahnya di mejaku dengan sebelah tangannya. Apa aku memang nggak berbakat marah-marah? Atau, sepertinya suaraku kurang keras tadi. Ah, sudahlah. Dia hanya perlu tahu kalau aku terganggu dengan keberadaan Zodi sekarang. “Harusnya lo nggak perlu kasih tahu ke mana gue pergi ke Zodi,” jelasku pelan. Karena aku khawatir karyawan yang duduk di sekitar mejaku mendengar percakapan kami.
“Tapi dia nanya.”
“Ya, nggak usah dijawab. Apa susahnya mendukung keputusan gue biar bisa hidup bahagia tanpa dia, Sil?”
“Memang lo beneran mau putus? Zodi kelihatannya cinta banget sama lo, Nel. Nggak sayang, tah, kalo pernikahan lo berdua dibatalin?” tanya Sisil sambil memilin rambut kepangannya dan menatapku lekat.
“Nggak,” jawabku cepat.
“Tapi dia makin keren lho, Nel.”
“Pokoknya nggak, Sil.” Rasa sayangku ke Zodi sepertinya sudah menguap. Karena rayuan yang dulu aku selalu tunggu kini malah jadi mengganggu. Bukannya makin bahagia, aku malah makin emosi.
Aku bahkan nggak peduli lagi kalau hari ini Zodi memotong rambutnya jadi lebih rapih dan bergaya dari potongan yang hanya belah pinggir saja.
Sisil masih menatapku penasaran.
“Coba lo pikir lagi deh, kenapa gue bisa seyakin ini untuk batal nikah sama Zodi?”
Raut wajah Sisil yang mungil langsung nampak bingung. “Kenapa jadi tanya gue? Harusnya gue yang tanya, Nel.”
“Iya, Sil. Maksud gue, mungkin ini satu-satunya cara Tuhan menyelamatkan gue dari hubungan dan pernikahan yang salah. Makanya gue legaaaa banget nggak jadi nikah sama Zodi.”
“Oh, gitu.”
Aku mengangguk yakin. Iya. Pasti itu alasan Tuhan menggagalkan pernikahanku dengan membiarkan aku mendengar gosip tentang rahasia hutang Zodi di malam pesta bride to be-ku sampai aku menangis semalam suntuk setelah mengungkapkan keinginanku di depan orangtuaku.
Aku kembali menatap Sisil. “Seharusnya gue terima kasih sama lo ya, Sil. Kalo aja lo nggak seember … eh, maksud gue, cerita sama Tori waktu malam itu, gue nggak akan pernah tahu rahasia yang disimpan Zodi.”
“Ooh….” Sisil tersentak dan seketika menatap Nelly dengan sorot mata bersalahnya. “Jadi karena itu, lo bisa tahu,” ujarnya seraya mengangguk lemah. “Tapi orangtua lo nggak apa-apa, Nel?”
Aku hanya menatap Sisil tanpa sepatah kata. Soal itu aku lebih memilih menelan jawabannya sendiri dan membiarkan dia bertanya-tanya. Karena aku nggak mau keluargaku jadi bahan gosip Sisil berikutnya.
ӂӂӂ
Sampai di rumah, berjam-jam aku jadi terus terbayang ucapan Sisil. Bukannya apa-apa. Orangtuaku juga sudah seringkali sebal melihatku kembali single. Soalnya dia sudah berharap sekali aku bisa menikah dan tinggal bersama suamiku daripada aku kerja siang sampai sore terus menerus.