Bukan Gagal Nikah

Diena Mzr
Chapter #19

18

29 Februari 2024

00:00 WIB

SAYANG!” Papa dan Mama sontak membuka kamarku sambil membawa kue dan kado.

“Mama ... Papa ... kalian ngapain!?” seruku sontak terbangun dengan mata sayup yang kupaksakan untuk terbuka lebar. Hampir saja aku terlelap pulas setelah pulang dari mal tadi.

“Ma, tolongin Papa bawain kadonya!”

Kado? Dahiku mengernyit.

“Papa nggak lihat Mama bawa kue ulangtahun sekarang.” Mama berdeham dan tersenyum menatap Papa yang hanya mendengus. “Tangan Mama cuma dua, honey!”

Aku baru saja mengucek mataku dan buru-buru beranjak dari tempat tidurku. Karena pulang dari mal aku langsung mandi dan menghambur ke tempat tidur. Pusing. Pusing sekali menghadapi kelakuan Zodi tadi. Sampai akhirnya aku dan Jedy langsung pergi setelah Jedy memakaikan cincin itu ke jari manisku dan membayarnya. Sementara cincin yang dulu dikasih Jedy hanya teronggok manis di meja riasku.

Kini kedua orangtuaku menatapku sambil tersenyum manis. “Selamat ulangtahun ya, sayang.”

“Makasih, Pa, Ma. Sini, biar aku bantu,” seruku sambil mengambil kotak besar dari tangan Papa dan menaruhnya ke meja kerjaku. “Ngapain Papa repot-repot beliin kado? Aku nggak mau tahun ini dirayain.”

“Nggak apa-apa, sayang. Ini Mama yang pilihin. Semoga kamu suka!”

Aku mengangguk. Besar sekali. Apa isinya? Sorot mataku terus memandanginya penasaran.

“Biar pun bulan depan kamu nggak jadi nikah, Mama selalu berdoa kamu bisa nikah tahun ini.”

Mendadak kerongkonganku jadi pahit lagi. Karena jodohku saat ini cuma Jedy. Itu juga kalau dia memang benar-benar jodoh yang dipilih Tuhan untukku.

Aku hanya mengamini dalam hati. “Makasih ya, Ma, Pa.”

Mama dan Papa mengangguk dengan senyum bahagia walau aku tahu mereka masih sedih dan kecewa karena keputusanku.

Tak lama muncul pesan yang bertubi-tubi di ponselku. “Sebentar, Ma, Pa.” Selain ucapan selamat dari Sisil dan Tori, aku juga menerima pesan dari Zodi dan Jedy.

“Iya, sayang. Kamu kalo masih ngantuk tidur lagi aja.”

“Apa!?” pekikku kaget setelah membaca pesan mereka.

“Kenapa, sayang? Pesan dari siapa? Zodi?” cecar Mama penasaran.

Aku mengangguk. Karena mendengar suara mesin mobil berhenti di pekarangan depan rumah, kami sontak menoleh ke jendela. Papa juga sudah menghambur dan mengintip dari balik gorden.

“Tetangga ada tamu tengah malem begini?”

“Masa sih, Pa?”

“Iya. Itu sampai parkir di seberang rumah kita. Ada dua lagi, Ma.” papa terus mengintip. “Tapi … Papa kayak kenal mobil yang satu lagi.’

“Mobil siapa, Pa?”

Aku hanya bergeming.

“Itu … kayak mobilnya si Zodi.”

Mama langsung menoleh ke arahku. “Dia kirim pesan mau dateng, Nel?”

Aku mengangguk. Tapi kenapa mereka datangnya nggak di lain waktu saja?

“Trus, yang satu siapa? Papa lihat dia turun dari mobil dan jalan ke rumah kita, Nel.”

Jedy! Aduh! Aku harus ngomong apa ke Papa sama Mama?

“Nel?”

“Iya, Pa?”

“Papa tadi tanya yang dateng ada siapa lagi,” jelas Mama dan aku hanya meringis.

Aku menghampiri Papa dan memastikan kalau pesan dari Jedy yang sedang menuju rumahku memang benar. Aku sedikit menyeka gorden kamarku dan melihat Jedy sudah berdiri di sebelah Zodi sambil membawa bunga. Syukurlah kalau mereka kelihatan akur di depan pagar rumahku yang memang transparan karena dibuat dari besi-besi vertikal yang dicat putih.

“Sebenarnya itu Jedy,” jelasku.

“Jedy?”

“Yang dulu naik sepeda di depan rumah kita terus nangis gara-gara jatuh?”

Aku meringis. Ingatan Mama ternyata setajam silet. “Iya, Ma. Jedy yang itu.”

Lihat selengkapnya