AKU menatap Mama yang nampak menyala sekali matanya seolah dia sudah nggak ngantuk lagi gara-gara ada Jedy duduk di meja makan bersama kami. Biasanya aku hanya merayakannya bersama Zodi, karena dia selalu mengajakku makan malam dan izin dengan mereka kalau kami akan pulang sampai tengah malam. Lalu orangtuaku senyam-senyum menyambutku pulang sambil membawa hadiah dan dua puluh delapan bunga mawar merah dari Zodi, sesuai dengan usiaku tahun lalu.
Zodi memang sudah berjanji kalau setiap tahun, bunga mawar yang akan dia berikan akan selalu bertambah satu seiring berkurangnya usiaku. Katanya, dia ingin menghiburku karena itu. Tapi aku bahagia saja walau dia masih suka bercanda seperti itu, karena aku akan dapat bunga mawar yang lebih banyak di setiap hari ulangtahunku walau hanya bertambah satu tangkai saja.
Sekarang aku malah hanya bisa menatapnya tajam dan meletakkan mawar pemberiannya di nakas dekat toilet. Karena aku cuma mau menaruh buket mawar dari Jedy di vas bunga yang cuma ada satu di meja makan ini walau jumlahnya lebih sedikit. Aku nggak peduli pandangan Zodi yang tak terima bunganya ditelantarkan daripada aku harus menanggung bunga cicilan hutangnya. Itu lebih mengerikan.
“Ma, Pa, makasih ya, karena udah kasih kejutan ini buat aku. Makasih ya, Dy, udah dateng malam-malam begini demi kasih bunga.”
“Iya, Nel. Aku juga senang kalau kamu bahagia di hari ulangtahun kamu.”
“Aku juga bunga, ‘kan?” celetuk Zodi.
Mama sama Papa sontak menunduk seolah ada semut di meja. Aku mengerjap. Sungguh aku hampir lupa kalau Zodi juga sudah duduk di samping Papa. Sementara aku hanya bisa melihat jelas Jedy, karena dia ada di hadapanku. Saking bahagianya, aku sampai mengabaikan pemberian Zodi. “Iya. Kamu lihat sendiri bunganya ada di sana,” seruku ketus sambil menunjuk bunganya ke depan toilet di seberang meja makan ini.
Papa berdeham. “Kamu di mana sekarang, Jed?”
“Apanya, Om?”
“Kerja.”
“Oh, aku bukan karyawan, Om.”
“Trus, sibuk apa sehari-hari?” tanya Papa makin penasaran. Aku jadi ikut ingin tahu karena selama ini aku memang nggak pernah menanyakannya. Apa ini gara-gara pikiranku penuh dengan Zodi sampai-sampai aku nggak memedulikan pekerjaannya?
“Kerja, Om,” jawab Jedy.
“Ya, di mana!?”
Aku kembali melihat Papa yang sepertinya sudah gemas karena dari tadi ingin tahu latar belakang pekerjaan Jedy.
“Sabar dong, Pa. kayak mau interview aja,” seru Mama. “Ini udah tengah malam. Nelly juga lagi ulangtahun. Tanya-tanyanya bisa nanti lagi. Kayak besok mau ada demo aja harus buru-buru tahu sekarang juga.”
Aku mengangguk setuju saja. Karena aku juga nggak mau terlalu ingin tahu kesibukan Jedy. Aku mencondongkan tubuhku dan melirik ke kiri Papa karena Zodi juga hanya diam. Aku kira dia tertidur. Ternyata nggak. Matanya seakan menyalak menatap Jedy. Mungkin dia juga sedang mencari tahu kehebatan lawan mainnya sekarang.
“Iya, nggak apa-apa, Tante. Kantor aku ada di SCBD sama di JH Production, Om.”