TADI pagi seisi ruangan tumpah ruah bukannya untuk mengucapkan ‘happy birthday, calon pengantin,’, tapi hanya mengucapkan selamat ulangtahun dan berharap aku bisa sabar menghadapi cobaan ini. Mereka juga terheran-heran kenapa motorku nggak ada di parkiran motor. Katanya, mereka ingin memberiku kejutan. Tapi karena aku sudah dijemput Jedy dari jam delapan, aku terpaksa ikut naik mobilnya. Tak terbayang lagi girangnya orangtuaku waktu tahu Jedy datang lagi.
Sekarang perayaan kecil ulangtahunku sedang berlangsung. Karena hanya dihadiri oleh sekitar dua puluh karyawan produksi, semua karyawan di kantor yang nggak mendapat undangan dari aku dan Zodi hanya karena hubungan kami yang nggak terlalu dekat dengan mereka jadi tahu aku nggak jadi menikah bulan depan. Gosip di grup WhatsApp jadi ramai sekali membicarakan aku dan Zodi yang tentu saja pesan kami nggak muncul sama sekali di grup.
Kalau dibilang malu, ya, malu. Tapi wajahku sudah diselamatkan oleh Tori dan Sisil karena mereka menilai aku sudah bisa melewati badai masalahku. Tak lupa aku lontarkan permintaan maaf karena undangan yang sudah kusebarkan ke mereka nggak jadi terwujud. Entah sampai kapan.
Setengah hari aku cuma bisa berkutat di balik laptopku dan berusaha untuk nggak ke mana-mana kalau atasanku nggak ada rapat dengan siapa pun. Zodi juga terlihat menghindari kerumunan dan cuma ada di balik ruangannya saja.
Semua menganggap aku bisa setegar batu karang karena masalah ini. Kalau saja mereka tahu Zodi masih mengejar-ngejar aku, mungkin mereka akan membujukku lagi seperti Tori dan Sisil.
Sekarang Tori dan Sisil juga masih merasa bersalah setiap melihatku dan hanya menebar senyum untuk memberiku semangat setiap hari.
“Hari kamu berat banget ya?”
Aku tersentak, karena siang ini Jedy tiba-tiba ada waktu untuk makan bareng di kafe. Mobilnya sudah melaju menerjang macet di Kuningan. Aku menggeleng. “Nggak kok.”
“Kalo ‘iya’ juga nggak akan ada yang marah kok, Nel. Hari ini masih jadi hari kelahiran kamu. Seharusnya kamu nggak perlu mikirin hal lain yang nggak perlu ada dalam pikiran kamu.”
Aku hanya mengangguk paham. Semestinya aku bisa melewati hari lahirku yang cuma bisa kurayakan empat tahun sekali ini dengan perasaan bahagia. Bukannya malah resah tak berujung gara-gara aku nggak jadi menikah sama Zodi.
“Apa Zodi bikin masalah?”
Aku geleng-geleng lagi. “Bukan. Aku cuma nggak enak sama teman-teman di kantor, karena undangan udah kesebar, tapi mereka kecewa aku nggak jadi menikah.” Padahal yang seharusnya kecewa itu aku. Seharusnya mereka nggak terlihat sedih. Seharusnya mereka tetap tersenyum saja seperti Tori dan Sisil. Tapi memang cuma dua orang itu yang tahu alasanku nggak jadi menikah. Untung saja mereka nggak jadi ember bocor di kantor. Kalau nggak, wajah Zodi mau dibawa ke mana?
Walau sudah putus dan nggak jadi nikah dengan Zodi, kadang aku masih prihatin dengan masalahnya. Apa kemarin aku terlalu dingin dengan dia sampai tadi pagi dia nggak keluar-keluar dari ruangannya juga?
“Kalo kamu masih mikirin apa kata orang lain tentang pernikahan kamu yang gagal, kamu masih bisa moving on sama hidup kamu sendiri?”
Aku tersentak mendengar pertanyaan Jedy. Selama ini aku memang khawatir apa pandangan orang lain tentang pernikahanku dengan Zodi yang harus gagal di tengah jalan. Bahkan mereka mungkin akan menganggap kami sudah kalah sebelum berperang. Apa karena itu aku jadi sulit menerima hubungan yang baru dengan Jedy meskipun terkadang aku senang berada di dekatnya seperti ini?
“Aku boleh tanya sesuatu nggak, Nel?”
Aku kembali tersentak dari lamunanku. “Mau tanya apa?” Apa jangan-jangan dia mau tanya soal lamarannya lagi. Ini masih hari ulangtahunku. Aku sontak memegang tali tas selempangku. Debar jantungku kembali berdetak cepat begini. Aku belum siap mendengar pertanyaan itu lagi. Tapi kalau aku nggak tahu jawabannya, kenapa detak jantungku nggak seperti biasanya? Apa aku mulai menyukainya?
“Soal semalam … apa kamu sengaja bikin dia cemburu? Maksudku, apa sikap kamu waktu itu bukan cuma pura-pura?”