MALAM ini Jedy tiba-tiba memberikan bunga lagi saat menjemputku di kantor. Tapi aku selalu ingin menemuinya di basement, jadi nggak ada teman-temanku yang tahu aku diantar-jemput oleh Jedy.
“Nel,” panggil Jedy dan aku langsung menatapnya sebelum membuka pintu mobilnya.
“Biar aku aja,” sahutnya.
“Oh, iya,” seruku sambil menanti Jedy turun dari mobil dan membukakan pintu mobilnya untukku. Tapi aku nggak bisa turun karena dia malah menghalangiku dengan tangannya yang terus memegang jendela mobilnya. “Apa?”
“Apa aku harus jemput kamu di basement? Maksudku, apa kamu masih malu orang-orang melihat hubungan kita?”
“Oh, soal itu … ya … kalo kamu nggak keberatan, kamu bisa terus jemput aku di basement dan kamu nggak perlu lagi mengirim bunga ke kantorku.”
“Gimana kalo aku keberatan?”
“Hmm … ya, jemput di lobi dan kirim bunga ke tempat lain aja,” jawabku sekenanya. Karena aku semakin nggak enak melarangnya untuk jemput di lobi atau menerima bunganya lagi dan membuat seisi kantor membicarakan aku lagi. Aku akan berusaha mencari jawaban yang bagus agar teman-temanku di kantor nggak menganggap aku perempuan yang mudah berpindah ke lain hati. Padahal aku baru saja menemukan rasa sayang yang dulu kurasakan saat masih bersamanya.
“Apa kamu masih khawatir dengan pandangan orang-orang kalo kamu nggak jadi nikah dan langsung dekat sama aku?”
Aku bergeming menatap Jedy.
“Kalo kamu masih begitu, menurutku kamu hanya senang bermain-main sama masa lalu, Nel. Kamu nggak akan bisa membiarkan orang lain untuk mengobati dan membuat luka kamu sembuh. Walau sedetik pun.”
“Kamu marah?”
“Nggak. Aku cuma kasih tahu kamu.”
“Ooh …,” seruku singkat. “Terima kasih, Dy.” Ucapan Jedy sungguh membuka mataku. Tapi entah kapan aku bisa mencoba nasihatnya itu. Mungkin besok. Lusa. Atau nanti. Terkadang Jedy selalu bisa lebih memahamiku daripada Zodi. Ah, kenapa aku harus teringat dia lagi!? Aku kembali menatap Jedy. “Aku udah boleh turun?”
Jedy mengukir senyum dan mundur selangkah mempersilakan. “Turun ke hati aku juga boleh.”
Belum juga aku tergelak, aku melihat sebuah mobil menghampiri mobil Jedy dan berhenti di depan kami persis. Lampunya menyala terang, dan ketika mati aku baru tahu itu mobil Zodi. Sedang apa dia di sini?
Jedy sontak ikut menoleh karena sorot mata lampunya sangat terang menyinari kami tadi dan dia tahu ke mana aku memandang sekarang. Apa aku pura-pura marah saja? Lagian nggak ada acara malam ini. Kenapa dia harus datang? T-tapi kenapa aku harus pura-pura marah? Kenapa nggak marah sungguhan saja? Karena aku nggak berharap kedatangannya.
Jedy kembali menatapku, dan aku buru-buru turun lalu menggandeng tangannya masuk ke rumahku. Sampai di ruang tamu, aku baru sadar untuk apa aku menggiringnya begini? “Maaf. Kamu mau pulang?”
Belum juga dijawab oleh Jedy, Mamaku sudah melihatnya duluan. Aduh, telat!
“Wa’alaikumsalam.”
“Eh, Assalamu’alaikum, Tante. Malam, Om,” sapa Jedy.
“Malam, Jedy. Anak muda cepat sekali pulangnya? Nggak makan-makan di luar dulu?”
“Nggak, Om. Besok Nelly juga masuk kerja, nanti kemaleman kalo kami makan di luar.”
“Oh, begitu.”
“Jedy makan di rumah aja, yuk! Tante masih banyak lauk sama sayurnya.”
“Nggak usah repot-repot, Tante.”
“Biasa makan di restoran sih, ya.”
“Nggak juga, sih, Tante. Nggak mau nyusahin Tante aja. Udah malem juga. Nanti jadi banyak piring kotor.”
“Piring mah udah wajar kalo kotor. Yang penting hati harus penuh cinta. Ya!”
Jedy sontak tertawa renyah. “Tante bisa aja.”
“Maa …,” tegurku.
Mama langsung mendesis dan mengangguk paham.
“Assalamu’alaikum,” sapa Zodi.
“Eh, ada Zodi juga. Walaikumsalam. Kamu dari kapan berdiri terus di teras?”
“Dari tadi, Tante.”
“Jed, kalian udah jadian, kan?”
Aku langsung tersedak dan terbatuk-batuk mendengar pertanyaan Mama.