“PUNYA hobi kok pamer-pamer,” celetuk Zodi memecah hening ketika aku sedang menunggu di depan lift kantor. Aku celingukan. Nggak ada yang lain. Karena aku memang sudah sengaja datang lebih pagi supaya nggak ketemu Zodi.
“Kamu lagi ngomong sama siapa?”
“Itu … cowok asing semalem.”
“Calon suami aku!?”
“Aku yang calon suami kamu.”
“Ih, ngaku-ngaku. Kamu nggak suka kalo dia pamer-pamer? Itu bisa jadi kelebihan yang kamu nggak punya, ‘kan? Lagian dia nggak berniat untuk bersikap seperti itu. Kamu dengar sendiri kalau semalam Mamaku yang interogasi dia. Mau nggak mau dia harus jawab senyata-nyatanya.”
“Memangnya cinta aku kurang nyata apanya, Nel?” tanya Zodi dan aku hanya ingin bergeming saja sambil merutuki kenapa jalan lift ini lama sekali.
Sambil melirik ke layar kecil di atas pintu lift, aku terus berdoa pintu lift ini segera terbuka. Apa ada puluhan orang yang berhenti di lantai lima? Kenapa lama sekali turunnya, ya, Tuhan!? Aku nggak mau mendengar senyata apa cinta Zodi. Karena aku tahu beberapa gadis sudah ditolak sama dia waktu kami masih kuliah dulu meskipun aku sudah menganjurkan dia untuk menerima salah satu dari mereka. Tapi dia tetap memilihku. Kalau tahu akhirnya akan begini, mungkin aku akan menolaknya meski harus menangis tujuh hari tujuh malam karena aku juga menyimpan rasa yang sama besarnya seperti dia waktu itu.
“Apa kamu suka sama dia?”
“Bukan urusan kamu,” jawabku cepat dan aku bisa mendengar helaan napas Zodi.
“Tapi kamu harus tahu kalo kita masih terikat di KUA, Nel. Nama kita masih terdaftar di sana.”
Hah? Jadi Zodi belum membatalkannya sama sekali? “Kenapa begitu? Kita udah nggak jadi nikah, Zod.”
“Ya, kali aja kamu berubah pikiran dan jatuh cinta lagi sama aku,” seru Zodi enteng sekali.
Aku mencelos. Apa dia nggak bisa membuka hatinya untuk yang baru? Kenapa masih terus mengejarku?
“Zod, kamu masih nggak bisa move on?”
“Bisa. Cuma males aja jalin hubungan baru dengan orang asing lagi. Apa lagi kita mau nikah.”
Mulai, deh. Aku paling malas kalau Zodi sudah mulai menyinggung hubunganku dengan Jedy lagi. “Kamu cemburu?”
“Nggak. Perasaan kamu aja kali.”
“Kalo iya, dipendam aja. Sampai besok. Lusa. Atau, sampai cicilan hutang kamu selesai.”
Zodi sontak berjalan mendekatiku hingga aku tersudut ke dinding. “Kenapa? Apa aku salah ngomong?”
“Nggak. Aku cuma mau tanya bagaimana dia bisa ambil hati kamu secepat ini?”
Aku mengerjap. Pertanyaan apa itu? “Kamu udah nggak berhak cemburu, Zod.”
“Iya. Tapi aku sampai sekarang masih setia sama kamu.”
Memangnya Zodi pikir aku nggak setia? Aku masih susah untuk benar-benar membuka hatiku ke Jedy meskipun aku bahagia berada di dekatnya. Tapi aku yakin itu bukan cinta. Itu hanya kebahagiaan sesaat, karena aku sedang kecewa dengan Zodi.
“Kamu nggak bisa mencintai orang lain selain aku, Nel. Nggak sekarang. Lusa. Kalo perlu sampai aku juga bisa berpaling dari kamu dan nggak menyesal pergi meninggalkan kamu.”
Aku mengerjap ucapanku dikembalikan lagi oleh Zodi.
“Pagi, Nel … Pagi Zod!”
Aku dan Zodi tersentak. Ternyata Tori dan Sisil sudah datang.
“Eh, kalian lagi ngapain di pojokan gitu? Hati-hati kesambet lho!” seru Tori dan Sisil langsung mengangguk sambil cengengesan.
Zodi sontak mundur dan kembali berdiri menghadap pintu lift.
“Udah balikan lagi ya?” tanya Sisil ikut penasaran menatap kami.