Bukan Gagal Nikah

Diena Mzr
Chapter #24

23

NEL, ini kembang dari Zodi ya?”

“Nggak tahu. Dia baru juga datang, ‘kan?” tanyaku balik. Tapi aku sempat melihat seorang perempuan berpenampilan seperti seorang sekretaris yang senang sekali memakai rok merah selutut dan kemeja dengan kerah ruffle berdiri di hadapan lift saat aku hendak ke toilet dulu sebelum naik ke sini. Mungkin dia sudah izin untuk mengantarkan bunga ini sendiri ke mejaku, karena seingatku dia juga membawa bunga mawar merah ini. Jadi, jelas bukan dari Zodi dan aku sudah melarang Jedy untuk mengirimkan aku bunga. Apa aku punya penggemar rahasia baru? Tapi setahuku, nggak ada karyawan baru sama sekali.

“Jadi dari siapa?”

Sedetik kemudian aku baru sadar karena ternyata di sebelahku sudah ada Sisil yang langsung mengangguk dengan raut wajah masih ingin tahu. Baru juga aku keluar lift dan berhasil lari dari kejaran Zodi, Sisil sudah menyebut nama Zodi lagi dan menatapku penasaran. Apa semua yang mengirimiku kembang atau mawar merah ini harus berhubungan dengan Zodi!? Bisa saja orang salah taruh ke mejaku.

Aku cepat membuka kartu kecil warna putih yang diselipkan di balik pita buket bunga ini. Tapi begitu melihat nama pengirimnya, aku buru-buru menutupnya lagi sebelum Sisil mengintip.

“Lo udah punya cowok lain, Nel? Yang waktu itu jemput lo di kantor ya? Gue kira itu klien atasan kita. Soalnya gue pernah lihat dia di parkiran waktu si bos ada rapat sama rekannya. Tapi tampilannya keren ya! Kayak bos-bos gitu. Jangan-jangan dia atasannya klien bos kita, ya? Kalian udah pacaran?”

Ternyata mata dan ingatan Sisil secepat petir menyambar. Aku cuma bisa mengernyit heran mendengar cerocosannya. Dia pasti tahu tulisan di kartu ini bukan tulisan tangan Zodi atau tadi dia sudah melihat kalau nama pengirimnya itu Jedy. Mungkin yang mengirim bunga ini memang Angel, sekretarisnya. “Bukan-bukan. Dia bukan siapa-siapa,” sahutku cepat.

Tapi jawabanku sepertinya nggak ngaruh sama sekali, karena senyum Sisil malah mengembang lebar bak Joker yang sedang menatapku penuh selidik. Padahal Jedy memang cuma teman baikku. Sekaligus mantan. Tapi Sisil nggak perlu tahu versi itu juga, ‘kan? Pandangku harap-harap cemas.

“Kalo siapa-siapa juga nggak apa-apa, Nel. Lo sama Zodi juga udah putus. Nggak ada hubungan yang haram di sini.”

Sisil benar juga. Tapi pagi-pagi sudah bergosip sungguh bukan karakterku. “Lo ngapain di sini terus? Masih pagi, Sil. Cek e-mail dulu gih!”

“Iya, Nel. Tapi yang ini gimana orangnya, Nel? Kelihatannya bakal ngutang kayak Zodi, nggak?”

“Sil?”

“Iya-iya.”

Kalau mataku sudah membelalak besar, Sisil selalu takut dan sekarang aku bisa bernapas lega karena dia sudah kembali ke mejanya. Tak lama kemudian, di grup WhatsApp jadi ramai memberi ucapan selamat karena aku sudah bisa move on dari Zodi setelah menerima bunga dari cowok lain pagi ini. Aku melirik malas ke arah Sisil, dan gadis itu langsung menutup wajahnya dengan buku catatannya seolah nggak terjadi apa-apa di grup besar kantor kami ini. Karyawannya memang nggak sampai ratusan, tapi cukup untuk membuat aku malu kalau berpapasan sama mereka hari ini.

Apa mereka akan menganggap aku selingkuh? Entahlah. Aku nggak mau pusing. Baru sedetik aku bisa menyalakan laptopku dengan tenang, Tori tiba-tiba menghampiriku. “Nel, lo jadian lagi sama cowok lain?”

Astaghfirullah! Apa pagiku nggak bisa tenang? “Nggak. Emang kenapa? Lo masih percaya gosip yang dibikin anak-anak? Tanya aja ke Sisil sana. Soalnya dia yang bocorin. Mungkin dia tahu lebih banyak.”

Tori mengangguk dengan polos dan menghampiri Sisil. Tapi baru selangkah dia kembali lagi. “Tapi ada yang nyebut nama lo di bawah, Sil. Tadi gue dengar sedikit. Cakep. Tinggi. Keren banget lagi! Kayak atasan kita aja penampilannya.”

“Hah?” Jedy ada di sini? Pikiranku langsung ke arah sana. Karena aku nggak punya teman seperti Jedy lagi di usiaku yang sudah hampir tiga puluh tahun dan nggak ada kegiatan apa-apa selain ngantor. Dengan jam nine to five, aku sudah lelah untuk pergi ke mana-mana kecuali belanja saja menghabiskan gaji. Itu juga dulu, waktu aku masih belum berencana untuk menikah. Sekarang uang tabunganku masih ada gara-gara nggak jadi nikah. Aku mungkin akan menabungnya untuk pernikahanku dengan Jedy. Itu juga kalau aku sudah siap. Benar kata Jedy. Untuk sekarang, aku lebih baik berteman dekat saja dengan dia.

“Nel?”

Aku kembali tersentak. “Iya, Tor. Makasih infonya.”

Waktu Tori balik badan, dia langsung menyahut. “Panjang umur. Nel, orangnya udah naik.”

“Hah?”

“Itu, di ruang tunggu. Kapan-kapan kenalin ya, Nel. Jangan lupa bagi-bagi rotinya!”

Aku cuma bisa menahan napasku, karena Jedy membawa sekeranjang berisi roti yang mungkin isinya ada sepuluh atau dua puluh. Cukup untuk satu ruangan di lantai ini. Aigoo! Apa Zodi melihatnya datang? Semoga saja matanya sedang melihat ke laptop, dan bukan ke jendelanya yang hanya dipasangkan stiker buram setengah.

Perlahan aku menghampirinya dan nggak mau melihat ke sekelilingku. Karena aku merasa semua mata sedang menatap ke arah kami sekarang. Baru saja aku membuka pintu ruangan, Zodi ikut keluar dari ruangannya. Sementara Jedy masih berdiri menatapku.

“Pagi, Nel. Sudah terima bunganya?”

Lihat selengkapnya