Bukan Gagal Nikah

Diena Mzr
Chapter #26

25

KAMU nggak serius mau nikah sama dia, ‘kan?”

Zodi pasti sudah mendengar rumor hubungan aku dengan Jedy di grup. Karena setelah aku memilih untuk jalan dengan Jedy dan meninggalkannya di depan lift, seisi grup ramai menanyakan hubunganku dengan Jedy.

Sekarang aku baru saja menerjemahkan satu kalimat Korea dari e-mail klien Korea atasanku yang dikirim ke padaku menjadi bahasa Inggris sebelum Zodi tiba-tiba duduk di sebelahku. Aku lihat rekan sebelahku memang sudah pergi duluan, karena sudah masuk jam makan siang.

“Serius. Kenapa harus bercanda? Memangnya nikah bisa main-main?”

“Tapi aku masih cinta sama kamu, Nel.” Zodi terus menggeleng sambil menatapku. “Kamu nggak boleh nikah sama dia.”

“Memangnya siapa yang bikin aturan kalo aku nggak boleh nikah sama dia setelah kita putus?”

“Aku. Maksudku kalo kamu nikah sama dia, gimana tanggapan keluarga aku, Nel?”

“Yang nikah itu aku, Zod. Mereka juga tahu kita udah putus.”

“Trus, semua yang kita sewa bareng-bareng gimana? Aku udah keluar banyak, Nel.”

Aku hanya menghela napas berat. “Tapi dari awal aku juga nggak pernah paksa kamu untuk nikah di Marrions yang mahalnya udah bikin aku harus mikir panjang. Karena kita nggak akan sanggup,” seruku. Karena aku kira Zodi memang punya tabungan yang cukup untuk sewa ballroom hotel di sana setelah menjawab setuju dan menandatangani surat perjanjiannya.

“Jadi kamu nyalahin aku?”

“Nggak. Semua udah kejadian. Nggak perlu jadi salah-salahan. Sekarang gimana caranya, kamu bisa move on dari aku. Mungkin kamu perlu pergi ke kafe-kafe, tempat hiburan, atau tempat wisata lainnya supaya kamu nggak ingat aku lagi,” usulku panjang lebar. Meskipun aku sendiri juga susah sekali melupakan dia. Kadang nasehat itu memang lebih gampang diucapkan daripada dipraktekkan. Apa lagi kalau nggak ada kemauan.

Tapi setiap mengingat hutangnya, aku merasa bersyukur karena sudah mengambil keputusan tepat untuk berhenti mencintainya. Sulit, bukan berarti aku nggak bisa belajar untuk membencinya saja agar aku lupa pernah benar-benar mencintainya dan perasaanku padanya jadi hanya sebatas teman atau rekan kantor saja. Karena lebih baik aku melepasnya daripada aku terus terluka dan berpura-pura kalau semuanya memang baik-baik saja setelah dia berkorban dengan berhutang sebesar itu demi aku. Nggak ada yang baik-baik saja dalam hubungan kami sekarang.

“Nel, coba pikir-pikir lagi. Hutang aku di Aplikasi Gampang Senang itu cuma dicicil selama 3,5 tahun.”

“Gampang Senang? Gampang bikin orang susah kali!”

“Kok kamu ngomong gitu sih? Udah untung kita dapet pinjeman. Seharusnya kita senang, Nel.”

“Seneng apanya? Menderita iya!”

“Terserah deh, kamu mau ngomong apa. Yang jelas, tenornya bisa diubah kapan pun juga. Kalo kita memang ingin mencicilnya lebih lama. Tapi bunganya yang harus nambah dikit. Kalo kita cicil 4 juta per bulan, kita masih sanggup, ‘kan? Kalo kamu keberatan, aku bisa datengin ke kantornya untuk minta perpanjangan waktu biar cicilannya jadi semakin sedikit. Cuma resiko bunganya….”

Aku sontak pusing mendenger penjelasannya. “Sekali nggak, tetap nggak, Zod,” potongku cepat. “Aku nggak sanggup hidup dengan hutang. Mau banyak atau sedikit,” ceplosku masih tak percaya.

“Tapi tiga….”

“Tiga setengah tahun kamu bilang sebentar!?” selaku lagi. “Kamu tahu nggak, Zod? Dalam jangka waktu itu, kalo kita punya anak nanti kita nggak bisa nabung lagi. Ibu-ibu tetangga kamu aja pasti tahu kebutuhan untuk anak bayi itu banyak. Ah, jangankan ibu-ibu, coba tanya ke Bunda. Gimana suka dukanya dia waktu membesarkan kamu?”

Zodi sontak bergeming mendengar ucapanku.

“Belum lagi uang belanja makan sehari-hari, token, air, bensin motorku, dan kebutuhan kita lainnya.” Aku cekikikan geli sendiri membayangkan bagaimana kami bisa bertahan dengan uang tiga juta sebulan, karena uang Zodi habis untuk cicilan hutang kami nanti. “Nggak,” lanjutku dengan raut wajah ibu tiri hingga Zodi nggak bisa berkutik lagi.

Lihat selengkapnya