MENCARI jalan keluar? Apa iya Zodi bisa menemukan jalan untuk bayar hutang sebesar itu dengan gajinya saja?
“Nel!”
Ah, suara itu lagi! Aku menoleh malas seraya menatap Zodi yang berusaha menyamai langkahku di lobi. Aku hanya ingin pulang dengan hati damai saja sulit sekali sekarang. “Apa?” tanyaku ketus. “Apa kamu udah dapat jawabannya?”
Zodi menggeleng. “Kamu?”
“Kenapa malah tanya aku? Aku mau pulang. Bukan mikirin masalah kamu.”
“Tapi kalo kita nikah, bukannya kita harus tanggung bareng-bareng masalah kita?”
“Nah itu! Untung aku nggak jadi nikah sama kamu.”
“Kok ngomong gitu?”
“Emang bener, ‘kan?”
“Nggak, Nel. Seharusnya sebelum kita nikah, kita bahas keuangan kita dulu.”
“Itu kamu sadar. Kenapa baru sekarang?”
“Iya, maaf, Nel. Aku memang salah karena nggak bahas soal ini dulu sama kamu. Makanya aku mau bahas lagi sama kamu. Biar uang gajiku untuk bayar hutang, dan uang kamu untuk biaya hidup kita. Gimana?”
“Gimana apanya? Sebelumnya kamu selalu memutuskan semuanya sendiri, giliran ada masalah baru lari ke aku. Kalo kamu baru bilang sekarang, aku nggak mungkin balik sama kamu juga, Zod,” seruku tegas dan heran. Aku ingin Zodi benar-benar bisa jadi lebih dewasa bukan karena dia lebih tua dariku dua bulan dan selalu nggak pernah meminta bantuan dariku, tapi untuk masa depan kami berdua kalau kami memang jadi menikah meski harus di bulan yang lain. Namun, kenyataannya malah berkata lain dan aku sudah menerima lamaran Jedy. Mungkin dia memang bukan jodohku sehidup dan semati.
“Nel, coba kamu inget lagi deh. Selama ini orangtuaku nggak pernah mohon-mohon sama siapa pun. Selain untuk kebahagiaan kita, mereka nggak pernah minta apa-apa. Mereka juga udah merahasiakan masalah kita ini dari semua orang dan nggak pernah berhenti berharap kita bisa bersama lagi. Kalo kamu masih nolak nikah sama aku dan mereka semua jadi tahu, harga diri kami mau di bawa ke mana, Nel?”
Aku hanya bisa terdiam menatap Zodi.
“Terus terang, Bunda cerita sama aku kalau dia memang sempat mau kasih tahu teman-temannya soal pernikahan kita yang batal tapi ternyata dia nggak sanggup dan berharap semuanya akan baik-baik aja. Kamu mau orangtua kita sedih, Nel?”
Jujur aku nggak tahu jawabannya. Karena orangtuaku juga kecewa sebelum aku bertemu Jedy lagi. Aku nggak mungkin meninggalkan Jedy dan menghapus senyuman di wajah mereka. Tapi bagaimana caranya Zodi bisa move on sepertiku selama dia masih ingin memperbaiki hubungan kami? Entah kenapa dia harus membuat luka sendiri seperti ini.
“Aku memang salah karena nggak menganggap suara dan prinsip kamu penting dalam hubungan kita. Aku cuma berpikir untuk bisa melakukan yang terbaik demi pernikahan kita. Aku nggak mengira kamu bisa dengan mudahnya jalan sama laki-laki lain setelah kita putus.”
Aku kembali tertohok setiap dia menyudutkan aku seperti ini. Apa Zodi sudah menganggapku bisa benar-benar berpaling darinya? Aku masih berusaha keras untuk berhenti memikirkannya karena aku nggak ingin terlilit hutang demi kebahagiaan kami yang hanya satu malam.
“Aku nggak pernah minta kamu hutang, Zod. Jadi, jangan salahin aku kalo aku memilih laki-laki yang lebih menghargai aku.”