AKU rela menerima pesan-pesan dari keluarga Zodi yang terus memberi perhatian dan emoticon sedih karena aku masih menolak anaknya. Karena menurutku permintaan maaf saja nggak cukup untuk mengubah situasi hubungan kami yang sudah terlanjur toxic gara-gara dia. Aku ingin berhubungan dengan Zodi secara sehat. Kalau dari awal keluarganya saja nggak tahu Zodi sudah diam-diam berhutang, apa lagi yang akan dia sembunyikan dariku nanti.
“Susah ya?”
Aku tersentak. Hampir lupa ada Jedy di sebelahku. “Apanya, Dy?”
“Susah lepas dari masa lalu.”
Aku mencelos. Jedy pasti lihat aku ngobrol sama Zodi tadi. Gara-gara dia, Jedy jadi harus menunggu lama. “Maaf, ya. Kamu jadi harus lihat drama kami lagi.”
Jedy mengangguk. “Nggak sengaja. Nggak apa-apa. Makanya aku nggak turun tadi. Maaf ya. Nggak bisa bukain pintu.”
“Nggak perlu minta maaf, Dy. Kamu nggak salah.”
Jedy menghela napas berat seraya terus melajukan mobilnya menembus jalan protokol di Sudirman. “Kamu juga nggak salah, Nel. Maksudku, terkadang putus adalah jalan terbaik yang bisa kamu ambil untuk nggak menyakiti siapa-siapa. Meskipun dia memang masih sulit putus dari kamu.”
Aku mencelos. Jedy benar. Aku memang nggak mau menyakiti Zodi kalau tetap ingin memaksakan kehendaknya untuk melanjutkan pernikahan kami di Marrions.
Jedy terus menerawang sebelum kembali menatapku sejenak saat mobilnya berhenti di lampu merah. “Seandainya aja kata ‘maaf’ bisa cukup membuka hati kamu lagi, Nel. Mungkin dia nggak akan sesedih itu lihat kamu jalan sama aku.”
“Kita nggak perlu pikirkan soal itu lagi, Dy.”
“Aku mikirin kamu. Apa perasaan kamu baik-baik aja kalo tolak dia? Biar bagaimana pun dia pernah berjuang untuk mempertahankan kebahagiaan kamu.”
Aku mengangguk. “Kamu nggak perlu khawatir. Kita mau ke mana?” tanyaku terheran. Karena arah rumahku bukan ke Selatan. Seharusnya mobil Jedy mengarah ke Timur.
“Oh, kita ke Butik Infinity dulu ya. Ada jas dan gaun yang bisa kita lihat-lihat untuk acara lamaran kita nanti.”
“Ooh, oke.”
“Oh, ya, nanti kita sekalian ketemuan sama orangtua aku aja ya. Soalnya, itu butik langganan Papa dari waktu masih muda.”
“Serius?”
“Iya."
“Nggak apa-apa kita ketemu di sana?” tanyaku sedikit khawatir. Bukannya apa-apa. Ini kali pertama aku reunian lagi dengan orangtuanya. Rasanya aneh kalau tiba-tiba aku datang lagi dan Jedy memperkenalkan kalau aku akan jadi calon istrinya. Waktu aku sama Zodi datang ke rumah orangtua Zodi, pertemuannya serasa seperti sedang ingin Konferensi Meja Bundar saja. Semua hal tentang pernikahan kami dibahas dengan begitu detail dan kesabaran yang cukup tinggi.
“Mereka malah ngusulin begitu. Tadinya aku mau ajak kamu ke rumah aja. Tapi mereka mau pergi malam ini. Pergi ke rumahnya? Aku jadi ingat waktu knecan pertamaku sama Zodi. Karena sama-sama nggak punya duit untuk jalan-jalan dan nggak ada uang bensin karena bensin sisa di motor Zodi hanya cukup untuk masuk kuliah esok harinya, kami cuma makan buah potong di teras rumahnya. Itu juga disuguhkan oleh Bu Velona yang senang sekali melihat aku datang ke rumah. Saat itu, aku nggak terbayang Bu Velona akan jadi calon mertuaku. Karena kami nggak berpikir akan menikah sepuluh tahun kemudian walau akhirnya harus jadi tragis seperti ini.
“Nel?”
Aku tersentak dari lamunanku. “Oh, iya. Kita kapan ke rumah kamu?”
Jedy malah menatapku bingung. Apa aku salah bertanya?
“Kapan aja kamu bisa datang ke rumah kok. Sekarang kita ketemu di butik aja dulu ya, sayang.”
Aku mengangguk saja. Untung dia nggak marah kalo aku melamun. Tapi dia memang nggak pernah marah dari dulu. Pembawaannya selalu sabar dan bisa mencairkan suasana kalau orangtuanya sedang marah-marah karena dia telat pulang ke rumah gara-gara mengantarku ganti baju seragamku dulu untuk bisa belajar bareng di rumahnya.
ӂӂӂ
Begitu tiba, aku langsung mengedarkan pandanganku. Butik yang ada di Melawai ini ternyata benar-benar luas karena memiliki bangunan berlantai dua, dan aku sudah melihat dua paruh baya yang tengah melihat-lihat gulungan kain jas. Salah seorang pria dengan rambut lurus yang lebih pendek namun dengan potongan persis seperti Jedy yang selalu diberi gel dan ditata ke belakang di hadapan kami sedang memakai salah satu jas warna hitam sekarang.
“Pa, Ma. Ini Nelly,” sapa Jedy memperkenalkan aku, dan senyumku langsung mengembang.
“Sore, Om, Tante.”
“Ooh, sore, Nelly sayang. Wah! Kamu sudah besar ya. Dulu masih suka naik sepeda ontel ke rumah. Tante jadi pangling kamu bisa jadi feminin gini.”