RASA penasaranku masih membumbung tinggi sekali dengan ucapan Zodi. Selama ini dia masih bersikeras ingin mempertahankan pernikahan kami karena nggak mau nama keluarganya tercoreng.
Kalau Zodi atau keluarganya tahu kalau aku juga nggak siap memberitahu kabar buruk ini ke keluarga orangtuaku, mereka akan terus berharap. Sementara orangtuaku sudah setuju kalau aku menikah dengan Jedy.
Mungkin aku hanya perlu memberitahu ke semua kerabat orangtuaku lewat undangan yang baru kalau calon suamiku nanti bukan Zodi, tapi Jedy. Kalau perlu aku membuat undangan yang bisa diakses online saja atau mengirimnya lewat pos. Jadi, aku nggak perlu bertemu muka lagi dengan mereka. Ya, Tuhan! Kenapa nasib pernikahanku rumit sekali!?
Setelah kupikir-pikir lagi, memangnya Zodi bisa melakukan apa untuk membayar hutang atau menepati janjinya padaku? Rasanya dia nggak mungkin juga mengemis ke keluarganya agar bisa membayar cicilannya setiap bulan. Dia pun tahu aku sudah pasti akan menolak keputusannya yang satu itu.
Ya Allah! Untuk apa juga aku pikirkan soal itu? Dia bukan siapa-siapa aku lagi. Sekarang ini aku akan jadi istri Jedy walau kami belum menentukan tanggal pernikahan kami.
“Nel.”
“Ya, Dy?” Aku tersentak dan menoleh. Sekarang ada Jedy yang bersedia menerimaku dan menikahiku tanpa tuntutan apa-apa. Kenapa aku harus mengkhawatirkan Zodi lagi? Aku cepat mengukir senyumku. “Ada apa?”
“Apa kamu bahagia sekarang?”
Aku terkejut. “Kenapa kamu tanya itu? Kamu ada di sini, dan sebentar lagi kita menikah. Kenapa aku nggak bahagia?”
“Bukan itu, Nel. Maksudku, apa kamu bahagia setelah meninggalkan Zodi?”
Eh? Aku tersentak mendengar pertanyaannya dan Jedy malah tertawa dengan sorot matanya yang nanar saat menatapku.
“Aku cuma mau tahu perasaan kamu yang sebenarnya.”
Aku mencelos. Apa mungkin dia sadar kalau aku sedang galau gara-gara Zodi?
“Soalnya tadi kamu ketemu Zodi, ‘kan?”
Aku mengangguk polos. “Aku sama dia udah nggak ada apa-apa, Dy. Kamu bisa tanya teman kantor aku.”
Jedy menahan tanganku sebelum aku mengambil ponselku. “Nggak perlu. Aku percaya sama kamu.”
“Trus? Kenapa kamu tanya perasaan aku?” seruku sambil melihat cincin Jedy yang sudah mulai kupakai setelah kami berkomitmen di lift. Dia sudah melihatnya. Apa ini nggak cukup?
Jedy malah mengangkat bahunya. “Aku merasa kamu masih bingung, Nel.”
“Aku bingung? Bingung kenapa? Ada kamu di sini, kenapa aku harus bingung?”
“Itu yang aku tanyakan, Nel. Apa kamu selalu mikirin dia? Karena hari ini kamu nggak seperti biasanya.”
“Sedikit,” jawabku jujur.
Jedy mengangguk seolah dia memang menghargai kejujuranku.