Bukan Gagal Nikah

Diena Mzr
Chapter #30

29

JEDY menatapku lekat siang ini. Katanya, ada hal penting yang ingin dia sampaikan. Entah apa. Aku masih menunggu bibirnya yang lebih tipis dari Zodi itu terbuka sebelum pandangannya kembali menerawang ke laptop. Sejenak kupandangi alisnya yang tebal dan datar itu sedikit lagi menyatu karena dahinya mengernyit saat kedua matanya memandang ke arah lain seolah dia belum menemukan pertanyaan atau ucapan yang tepat untukku.

Apa dia masih meragukan perasaanku? Aku nggak memahami jalan pikirannya, ditambah sorot matanya yang terlihat misterius malah membuatku semakin bertanya-tanya. Aku hanya bisa menantinya bicara setelah kami tiba di kafe yang khusus menjual minuman dan buah-buahan di daerah Jakarta Selatan.

Sekilas pandang, Jedy nampak santai ketika duduk di sampingku. Aku mulai semakin mengaguminya, karena ternyata dia bukan laki-laki yang pemilih untuk makan atau sekadar minum di kafe atau restoran. Sementara Zodi selalu ingin nongkrong di tempat-tempat yang bukan seperti warung di pinggir jalan ini.

Kalau kupikir lagi, Zodi memang selalu memberiku rasa aman dan nyaman yang berlebih bukan hanya saat dia mendekatiku untuk bisa menjadi pacarku. Tapi saat-saat kami sedang bertengkar karena dia nggak menerima keputusanku, dia juga bisa bersikap manis. Sikapnya yang menyebalkan hanya ketika dia cemburu dengan Jedy. Iya. Mungkin itu yang membuatku jadi emosi menghadapinya.

Meski pada akhirnya Allah berkehendak yang lain, Zodi masih saja menentang keinginanku dan terus berusaha memberiku perhatian yang manis dengan memberiku bunga mawar merah di kantor. Makanya aku nggak mau Jedy mengirimi aku bunga, karena orang-orang bisa menilai aku memacari dua cowok sekaligus.

Tapi aku penasaran apa Jedy juga akan melakukan hal yang sama kalau kami nggak jadi menikah? Nggak-nggak. Kenapa aku jadi berpikir hubungan kami nggak akan berhasil? Di luar sana, pernikahan yang gagal dilaksanakan mungkin bukan hanya aku yang mengalaminya. Tapi aku nggak boleh pesimis dengan hubunganku sama Jedy.

Terlepas dari harapan keluarga Zodi yang masih ingin aku dan Zodi saling memaafkan saja, aku cuma bisa berharap cepat atau lambat mereka bisa menerima kenyataan kalau kami hanya bisa berteman saja. Aku benar-benar ingin memulai hari-hari baruku dengan Jedy dan Zodi nggak bisa dibandingkan dengan Jedy lagi kalau mereka menanyakan kenapa aku memilih cinta lamaku bersama Jedy.

Aku sudah harus menyiapkan jawaban yang tepat kalau sewaktu-waktu keluarga Zodi atau keluarga Jedy menanyakan kenapa aku mencintai Jedy. Karena hati kecilku dulu pernah menginginkan Jedy bisa terus bersamaku sampai kami bisa bekerja di perusahaan yang sama. Sekarang dia malah punya usaha dan kantor sendiri. Bodoh sekali kalau aku menolaknya, ‘kan?

Di luar sana pasti sudah banyak yang mengejar-ngejar cinta Jedy, tapi hanya aku yang bisa memenangkan hatinya. Seharusnya aku bahagia bisa bersamanya walau cuma di warung kecil seperti ini. Aku malu-malu menatapnya, tapi sepertinya dia nggak banyak bicara. Apa dia sedang banyak masalah atau ada pekerjaan di kantor yang membuatnya pusing? Atau, mungkinkah dia masih diam-diam kesal karena aku memikirkan Zodi? Tapi aku sudah mencoba untuk melupakan masalah itu dan nggak mau lagi menangis karenanya.

“Kamu marah ya?” tanyaku seraya melirik ke arahnya takut-takut.

Jedy menggeleng.

“Kenapa dari tadi diam aja?”

“Aku yang ajak kamu jalan hari ini ya. Maaf, kalo pikiranku malah berlarian ke sana ke mari.”

Aku geleng-geleng. “Nggak, Dy. Aku nggak marah.”

“Aku juga sebenarnya mau minta maaf.”

“Soal apa?”

“Karena aku udah meragukan perasaan kamu waktu itu, Nel.”

“Ooh,” seruku singkat. Aku hanya mengangguk paham seraya berputar keras apa yang bisa kubuktikan agar Jedy tahu aku benar-benar serius ingin menerima lamarannya. Aku nggak mau terus dikejar harapan orangtuaku kalau aku kehilangan Jedy. Apa lagi keluargaku juga sudah mendorongku untuk bisa menerima Jedy. Rasanya nggak ada salahnya aku bersikap agar dia bisa lebih yakin untuk menikah denganku.

Aku nggak bisa menyalahkan Jedy kalau dia merasa seperti itu. Aku sadar sekali kalau semua keraguan Jedy memang beralasan, karena selama ini aku selalu terbayang-bayang dengan masa laluku. Tapi aku nggak mau kencanku ini kacau gara-gara Zodi. Walau Jedy belum percaya padaku seratus persen, paling nggak aku sudah mencoba untuk membuka hatiku. Karena aku memang masih mencoba meneguhkan hatiku untuk menjadi istrinya.

Aku terus memutar otakku untuk memulai menghapus kenanganku dengan Zodi. Mungkin aku akan mulai dari ponselku. Ya. Aku menyimpan banyak sekali momen-momen bersama Zodi dan aku mengumpulkannya untuk dipajang di layar proyektor kami yang sudah disiapkan oleh pengelola di Hotel Marrions Island. Ketua tim wedding organizer kami juga sudah mengiyakan kalau kami bisa memajang foto-foto kenanganku dengan Zodi di sana.

Sekejap aku menatap layar ponselku dengan pandangan kosong sampai layarnya mati lagi dan aku buru-buru menoleh ke Jedy lagi. Apa dia akan percaya kalau aku melakukannya?

“Dy, kalo kamu masih ragu … aku bisa hapus semua foto aku dan Zodi.” Aku cepat menunjukkan ponsel di tanganku dan segera menghapus semua foto-fotoku dengan Zodi, lalu menelan salivaku setelah semua foto yang kusimpan di folder khusus terhapus. Aku menunjukkan ke Jedy sebelum aku menekan tombol hapus. Karena galeriku memang penuh dengan foto-foto terakhir kami saat melaksanakan sesi foto-foto pra-wedding. Karena ingin momen yang romantis, kami sempat mengunjungi salah satu tempat hotel dengan gedung yang dikenal bersejarah di Bandung. Waktu itu kami ingin mengabadikan pernikahan kami selamanya di hotel itu, tapi kami membatalkannya karena jarak yang nggak memungkinkan semua keluarga kami bisa datang ke kota itu.

Jedy tersentak menatapku. “Nggak sayang kalau dihapus?”

Lihat selengkapnya