JEDY nampak berbeda sekali siang ini. Karena minggu pertama di bulan Maret ini aku sudah mengajaknya untuk pergi ke satu gedung dan gedung yang lain untuk melihat mana tempat yang cocok untuk pernikahan kami. Selain untuk mencairkan suasana hati dalam hubungan kami, aku juga ingin semuanya berlangsung cepat saja agar Zodi juga menyerah untuk mengejarku.
Tapi rencana hanyalah rencana. Karena Jedy malah membawa laptopnya dan kami riset dulu sambil menemaninya minum kopi di kafe. Dia juga membelikanku camilan sepotong iced cake lapis cokelat.
“Ini gedung yang aku bilang kamu harus lihat dulu. Suka, nggak?”
Aku menelusuri gedung kaca yang ada di daerah Jakarta Pusat. Halamannya begitu asri karena ditumbuhi oleh pepohonan dan tanaman lainnya. Juga ada lampu gantung yang membuat ruangan indoor yang nggak terlalu besar itu jadi nampak romantis.
“Ini bisa jadi alternatif terbaik untuk konsep pernikahan yang nggak terlalu mewah, Nel.”
Konsep sederhana yang aku inginkan memang tepat sekali dengan gedung itu. Berbeda sekali dengan gedung indoor yang sudah dipesan Zodi. Ini memang bisa jadi alternatif yang bagus untuk pernikahanku dengan Jedy.
“Nel?”
Aku tersentak. “Oh, iya. Aku suka,” jawabku dengan senyuman penuh. Aku kira pikiranku bisa terpusat pada gedung-gedung yang sudah dicari Jedy semalaman agar aku bisa melihatnya siang ini, tetapi aku malah kembali terbayang kenanganku dengan Zodi.
Entahlah. Aku hanya bisa bertanya-tanya sendiri saat aku dan Jedy menelusuri salah satu gedung yang yang memiliki konsep seperti restoran untuk para muda-mudi yang sedang jatuh cinta dan nggak perlu diragukan lagi indahnya. Karena mereka juga menyediakan brosur foto pelaminan dari review beberapa mempelai yang menikah. Tapi kenapa aku nggak terpana saat mereka menyampaikan kelebihan atau keindahannya? Rasanya seperti ada lubang yang masih menganga dalam hatiku.
Padahal siang ini Jedy terlihat sangat teliti dan sudah mengumpulkan beberapa pilihan vendor gedung lain yang menurutnya bagus untuk dijadikan pilihan saat kami sudah kembali ke mobilnya. Aku pun hanya mendengar penjelasannya satu per satu dan malah lebih tertarik dengan caranya menjelaskan semuanya dengan sabar.
Kupandangi wajahnya sejenak. Jedy memang bukan lagi anak laki-laki yang dulu seringkali mudah sakit radang tenggorokan dan harus dicekoki minum obat oleh Mamanya saat dia sedang mengajar rumus-rumus Matematika yang sulit kupahami di rumahnya. Dia memang jadi sering terkena radang karena selalu belajar, kurang istirahat, dan senang makan apa pun yang enak. Termasuk minum yang dingin-dingin.
Sekarang Jedy akan jadi calon suamiku. Tapi….
Apa salah kalau beberapa tempat yang aku lihat sekarang terasa sama saja di mataku? Entah kenapa aku jadi nggak seantusias dulu ketika aku dan Zodi mencari lokasi yang tepat untuk pernikahan kami.
Aku menghela napasku dan memasang senyumku lagi. Aku nggak boleh bersikap seperti ini, karena yang ada di sisiku sekarang Jedy. Aku nggak boleh membuatnya patah hati. Aku nggak boleh menolak kebaikannya. Tapi kenapa kebodohanku ini jadi kumat dan aku masih saja ingin mengenang Zodi?
Seharusnya Zodi sudah bukan seseorang yang berarti lagi di mataku. Tapi sepertinya aku memang perempuan yang nggak bisa berhenti mengenang masa laluku. Bagaimana ini? Ada apa denganku?
“Nel?”
Aku tersentak. “Ah, iya. Ini aja,” sahutku sambil menunjuk ke gedung kaca itu. Aku tersenyum menatap Jedy, tapi entah kenapa dia malah menatapku penuh arti yang sulit kujelaskan sebelum akhirnya dia membalas senyumku.
Jedy sudah melamarku. Dia sudah membantuku untuk menyembuhkan luka hatiku karena sikap Zodi. Aku nggak mungkin mengabaikan kebaikannya itu. Aku pasti bisa kembali mencintainya lebih dari cintaku pada Zodi.
ӂӂӂ
Aku ingin benar-benar selesai dengan masa laluku, tapi aku masih saja membandingkan Zodi dengan Jedy. Selama ini aku sudah nggak adil sama Jedy. Aku kira setelah memilih untuk bersamanya, aku akan bahagia seperti ketika aku masih berhubungan sama Zodi. Ternyata ucapan Jedy memang benar. Ragaku memang ada bersamanya, tapi hatiku masih terus tertinggal di kehidupan Zodi.
Mulai hari ini aku harus berusaha lebih keras lagi untuk bisa jadi pasangan yang baik dalam hidup Jedy. Aku baru saja ingin menghapus foto-fotoku dengan Zodi di ponselku, sebelum tiba-tiba Sisil datang ke mejaku.
“Nel, kamu tahu nggak kalo Zodi mau resign!?”