Bukan Gagal Nikah

Diena Mzr
Chapter #9

8

KURANG tidur gara-gara menangisi keadaan sungguh kombinasi seni hidup menyakiti diri sendiri. Tapi masih saja aku lakukan gara-gara menyesali keputusan Zodi yang masih bersikeras untuk menikah di Marrions hanya karena sudah terlanjur berhutang dan ingin membahagiakan aku. Setiap berpapasan dengan Zodi dan ingat itu, aku jadi kesal sendiri.

Sekarang aku mau refreshing bertemu Jedy dan berharap dia nggak memerhatikan mataku yang sudah seperti panda yang tersengat ratu lebah karena sembab. Tapi baru saja aku melangkah di lobi, pandanganku sudah dibuat tersentak. Karena aku benar-benar melihat sosok wanita paruh baya yang berhijab dan membawa tas belanjaan yang kukenali di lobi. Bu Velona? Aku sering menemaninya belanja setiap akhir pekan, jadi aku tahu kalau itu dia.

Mau nggak mau aku berjalan menghampirinya, karena nggak ada jalan lain dan Bu Velona sudah melihatku sambil melambaikan tangannya. Namun, kenapa dia harus datang di jam-jam segini? Aku ingin pergi sama Jedy karena dia hanya ada waktu di akhir pekan dan aku masih jadi budak korporat di hari Sabtu ini.

“Nelly,” sapa Bu Velona.

“Ada apa, Bun?” tanyaku sambil berharap Jedy nggak tiba sekarang juga. Tapi ternyata itu hanya akan jadi harapanku, karena seseorang tengah menatap seolah dia memang menantiku. Aku juga melihatnya melambaikan tangan ke arahku. Apa dia Jedy? Aku belum pernah melihatnya lagi semenjak Instagramnya sudah nggak aktif. Dia memang laki-laki yang nggak memiliki sosial media mana pun karena menurutnya hanya membuang waktunya yang berharga.

Laki-laki itu baru saja turun dari Mercedesnya. Apa aku hanya berhalusinasi sekarang? Karena dia benar-benar menantiku. Aku mengerjap, mencoba kembali meyakinkan mataku nggak salah lihat. Tapi aku benar-benar melihat sorot matanya yang terus menatapku. Dia berdiri di samping mobilnya yang memang baru terparkir di depan lobi kami. Seingatku, hanya petinggi-petinggi saja yang bisa parkir di situ seperti eksekutif produser atau jajarannya dan aku hanya memberitahu Jedy kalau aku bekerja di Gedung Kadja yang ada di Jakarta Pusat ini.

“Nel, Bunda bawain oleh-oleh untuk kamu. Siapa tahu Zodi juga suka.”

Ya, Tuhan! Bu Velona memang masih menganggapku seperti anaknya sendiri dan belum menghilangkan kebiasaannya. Aku selalu ingat dia sering membawakan sushi atau makanan kesukaan aku dan Zodi. Aku memejamkan mata sejenak dan berpikir bagaimana aku bisa menolaknya sementara Jedy sudah menatap kami berdua sambil berdiri dari pintu mobilnya yang masih terbuka.

Lihat selengkapnya