Bukan Gagal Nikah

Diena Mzr
Chapter #7

6

SETIBANYA aku di rumah bertingkat dua di komplek Kramat Jati yang ada di Jakarta Timur, ternyata Zodi ternyata sudah tiba duluan. Karena aku harus mengambil motorku dulu di basement kantor.

Namun baru selangkah menuju terasnya, pertemuan yang dimaksud Zodi sudah dimulai dari tadi. Aku bisa mendengar suara Bu Velona dengan jelas dari sisi jendela. Kalau aku masuk, apa akan semakin tambah runyam? Tapi aku hanya ingin membatalkan saja pernikahan ini.

Dari balik gorden jendela, aku melihat orangtua kami sudah berhadapan dengan raut wajah yang sama-sama kencang di ruang tamu. Aku semakin gentar untuk melangkah masuk dan hanya berdiri di balik dinding teras rumah ini. Jantungku sedikit berdebar, karena aku seperti belum siap untuk mengatakannya lagi.

“Bunda juga bilang apa!? Kalo mau nikah, nggak perlu harus di Marrions Island. Mana pake cari gara-gara ngutang di pinjol.”

“Iya, Bang. Udah tahu Kak Nelly alergi sama orang yang suka ngutang. Sekarang gimana caranya, Abang harus minta maaf sama dia. Bilang aja waktu ngutang, Abang kena pelet.”

“Pelet apaan! Pelet ikan!? Abang ngutang sadar kok. Nggak kena pelet apa-apa. Asal kamu tahu ya, cinta Abang ke Nelly juga tulus. Nggak pake pelet-peletan. Dikira Abang Ikan Mas Koki kali, ya, doyan pelet.”

Aku ingin terkekeh saja seperti Ade, tapi kutahan suaraku sebisa yang kumampu agar mereka nggak mendengarnya.

“Yah, Bang. Dikasih solusi bohong dikit nggak mau.”

Orangtuaku langsung berdeham seakan nggak setuju dengan solusi Ade yang sudah ke luar jalur.

“Abang paling anti bohong-bohong,” seru Zodi bersikeras. “Beneran Om, Tante. Saya nggak bermaksud untuk bohong.”

“Iya, iya. Om paham maksud kamu, Zod,” seru Papaku terdengar begitu sabar menanggapinya.

Kalau Zodi memang nggak berniat untuk bohong. Apa itu berarti dia mengambil keputusan itu karena aku sudah terlalu lama kenal dan pacaran sama Zodi hingga dia merasa bisa menyepelakan sikapnya dan aku nggak akan marah kalau tahu soal itu? Apa mungkin karena itulah hubungan kami berdua jadi nggak sehati-hati dulu saat kami baru kenal? Biasanya Zodi selalu mempertimbangkan keputusanku baik untuk urusan makan atau hal-hal penting lainnya. Kalau memang itu yang benar-benar ada dalam pikiran Zodi, sepertinya hubungan kami memang sudah nggak ada harapan. Karena dia sudah nggak menghargai prinsipku lagi.

 “Lha, tapi Abang nggak cerita ke Kak Nelly,” Ade terdengar masih saja menyulut api, dan aku nggak menyalahkannya untuk itu. Lagi-lagi langkahku jadi tertahan untuk masuk ke dalam rumah orangtua Zodi ini.

“Bohong itu anggapan kamu sama dia. Sebenernya Abang nggak bohong. Cuma nggak mau dia ikut pusing aja.”

Sami mawon, Bang. Kalo mau nikah, seharusnya kompromi dulu sama Kak Nellly. Iya, kan, Bun?”

“Iya. Semestinya begitu. Tapi untuk apa lagi kita melihat ke belakang? Nggak ada gunanya juga, De. Mudah-mudahan Nelly masih bisa berubah pikiran ya,” ujar Bu Velona.

“Saya cuma bingung di mana harus taruh rasa malu di mana kalau para tamu tahu anak kami nggak jadi menikah,” sahut Papaku.

“Sama, Pak. Saya minta maaf sekali kalo sampai ada masalah ini.”

“Iya, Pak Rahmadi,” balas Papaku.

Aku dengar helaan napas Zodi. Tapi langkahku masih tertahan saja. Aku benar-benar bimbang sekarang. Bukan karena aku tetap ingin menikah, tapi lebih ke rasa khawatirku kalau aku bersikeras melanjutkan niat baik kami dahulu hanya karena mereka masih punya tujuan yang sama dan rela membantu keuanganku dengan Zodi nanti. Aku hanya bisa berharap semua baik-baik saja meski aku harus putus dari Zodi.

“Padahal nikah itu gampang, Bang. Yang susah cari jodohnya. Kalo Kak Nelly nggak mau Abang ngutang, ya, batalin aja utangnya.”

Maneh teuing karuan pisan kasih saran, Ade!? Pan uangnya udah masuk ke vendor-vendor itu!” sergah Bu Velona yang memang ada sedikit keturunan Sunda dari kakeknya yang sudah meninggal. Walau beliau jarang ngomong bahasa Sunda, tapi logatnya terkadang masih bisa kukenali. Sejak mengenalku, beliau memang selalu memberitahuku tentang apa saja. Kecuali soal Zodi yang sudah berhutang. Aku percaya kalau dia benar-benar nggak tahu.

“Eh, nggak ngerti lagi ah. Aku kok jadi ikut pusing. Itu kan, masalah Bang Zodi. Bukan masalahku,” seruan Ade kudengar sudah acuh tak acuh. Sepertinya dia juga penat dan nggak punya jalan keluar untuk Zodi lagi.

Zodi mendengus saja. “Lama-lama kok kamu jadi mirip pacar Abang?! Bukannya bantuin mikir. Malah bikin pusing. Eh, maaf ya, Om, Tante. Maksudnya, sayang kan, kalo pernikahan aku sama Nelly dibatalkan?”

“Iya, Zod. Tante paham itu. Kita semua pusing karena masalah ini,” seru Mamaku akhirnya angkat bicara.

Aku cuma bisa menahan geliku mendengar percakapan mereka. Jadi, aku cuma bikin dia pusing!? Harusnya aku yang pusing gara-gara dia. Rasanya aku harus muncul sekarang daripada dikira sedang menguping. Tapi aku nggak mau mengganggu ngobrolan serius mereka meskipun seharusnya aku juga terlibat dalam obrolan mereka itu. Aku harus cepat-cepat memikirkan lagi bagaimana menyampaikan keputusanku tanpa membuat perang di rumah ini. Sepertinya aku harus mendinginkan kepalaku dulu sekarang sebelum menyapa mereka. Aku menghela napas dalam-dalam dan memasang senyum.

“Assalamu’alaikum,” sapaku mengganti keheningan mereka.

“Walaikumsalam. Nah! Panjang umur. Sana sambut pacar kamu itu lho, Zod!” seru Bu Velona.

“Mantan, Bun.”

Lihat selengkapnya