14 mei 1998. Hari itu hari kamis, Atika melihat jam dinding besar yang terpasang di dinding ruang tamu rumahnya. Waktu sudah menunjukkan pukul 10.00. Dengan cepat Atika memasukkan aneka gorengan buatan ibunya yang bernama Nur, ke dalam tas jinjing besar yang terbuat dari anyaman rotan.
"Jangan lupa, itu yang 30 punya pak Saihu yah?" Kata ibu Nur sambil jalan membawa nampan berisi aneka gorengan, mendekat ke Atika yang sedang sibuk.
"Iya bu."
"Ini yang nanti kamu jual." Meletakkan nampan di dekat Atika.
"Nanti pulangnya nggak usah sore-sore. Kalau jam tiga belum habis pulang aja! Nggak usah dipaksain habis kalau memang sepi pembeli."
"Iya bu."
Atika sudah bersiap untuk pergi berjualan. Remaja 14 tahun itu setiap hari berkeliling berjualan gorengan. Dia biasa berjualan sampai pasar yang ada di salah satu kota Jakarta, yang letaknya lumayan dekat dengan tempat tinggalnya. Sehari dia bisa membawa sampai 200 gorengan. Untuk diantarkan ke pemesan, Atau untuk langsung dia jual sendiri. Dia tidak lagi Sekolah setelah lulus dari Sekolah dasar. Di saat itu bagi keluarganya pendidikan dianggap tidak terlalu penting. Asal sudah bisa membaca, itu sudah lumayan.
Atika mulai melangkahkan kakinya ke luar rumah. Suasana hari itu cerah dan agak sedikit terik. Di depan rumah dia bertemu adiknya bernama Roni, yang berusia 10 tahun. Dia sedang bermain kelereng sendirian.
"Hek! besok berangkat sekolah kamu! Jangan malas! Nggak berangkat sekolah kok terus. Nggak punya teman main kan kamu jadinya."
"Mbak juga nggak berangkat Sekolah terus."
"Hek, mbak mu ini kan udah kerja. udah nggak sekolah lagi, udah lulus,"
"Udah sana jualan!" Suruh Roni menghentikan kebawelan mbaknya.
"Huuu, dinasihati kok,"
Atika lalu pergi dengan melihat Adiknya yang tertawa karena berhasil membuatnya merasa kesal.
Hari itu Atika berjualan melewati jalan-jalan yang biasa dia lewati. Tangan kirinya membawa tas jinjing yang berisi gorengan pesanan, kantong kecil untuk menaruh uang, dan plastik untuk wadah gorengan. Sedangkan tangan kanannya menopang nampan yang juga berisi gorengan di atas kepalanya. Sambil sesekali bersuara keras, "Gorengaaannn!" Untuk memberitahu dan menarik para pembeli.
"Beli...!" Seru seorang wanita paruh baya menghentikan langkah Atika. Lalu Atika berhenti dan memandang wanita itu yang berjalan cepat menujunya. Ternyata dia adalah bu Esti. Dia memang terkadang membeli gorengan yang Atika jual.
"Gorengannya ka,"
"Mau gorengan apa bu, Berapa?"