Api berkobar. Seluruh ruangan dilahap si jago merah. Asap yang menguar, membuat dada sesak. Dan aku terperangkap dalam kondisi tak mampu bergerak ataupun berteriak, hanya tergolek lemah di lantai.
Kusapukan pandangan ke sekeliling ruang, di mana dia? Terakhir, aku ingat sekali, dia memelukku. Aroma stroberi yang manis itu, seakan-akan masih menempel di hidungku. Tubuh kecilnya, mendekapku erat. Masih kuingat juga, dia berkata, “Maaf dan terima kasih, JP.”
Namun, saat itu tiba-tiba punggungku terasa nyeri, seperti ada sesuatu—mungkin semut—yang menggigit. Lalu, ngilu menjalar ke sekujur tubuh. Semua berubah menjadi gelap, hingga aku terjaga dengan peluh di sekujur badan.
Api telah mengurungku! Apa aku sudah di neraka?
Tidak mungkin!
Menurut buku yang pernah kubaca, manusia yang masuk ke neraka, pasti dalam keadaan telanjang. Sementara aku, masih lengkap memakai seragam.
Seragam ini yang dulu kubanggakan. Sebagai abdi negara, memberantas kejahatan. Tak peduli bahaya mengancam jiwaku, semua akan kubongkar hingga ke akar. Termasuk pembunuhan berantai yang tak pernah ditemukan siapa pelakunya.
Aku masih ingat jelas, saat kasus itu terbongkar, ada rasa penyesalan dalam diriku. Kenapa? Kenapa harus dia? Kenapa sosok yang paling tak ingin kubenci, justru jadi sumber masalah bertubi-tubi dalam kehidupanku saat ini?
Sosok yang terlihat ceria, manis, seperti kembang gula. Namun, sosok itu bisa berubah menjadi racun yang mematikan. Dan aku telah terjerat, entah karena rasa manis itu sendiri, atau karena terpapar racun yang ia suntikkan dalam degup jantungku.