Pagi itu—15 Februari, ada yang melapor, seorang pria muda tewas gantung diri di sebuah kamar berukuran 4 x 4 meter persegi. Tidak ada identitas yang ditemukan. Korban hanya meninggalkan sebuah ransel hitam ukuran sedang, berisi dua setel pakaian dan dua celana dalam. Kepada pemilik kos, korban mengaku bernama Jejak Kelana. Menurut sebuah informasi, itu adalah nama pena dari seorang penulis indie misterius di dunia maya. Tak ada yang tahu siapa nama aslinya, juga tempat tinggalnya.
Saat aku datang ke TKP, keadaan mayat itu sudah kaku membiru dan mulai mengeluarkan bau tidak sedap. Mungkin sudah tiga hari lelaki itu tergantung di kamar. Rambutnya sebahu, tingginya sekitar 170 cm. tali tambang cokelat berdiameter tiga senti terkait di ventilasi kamar yang berupa celah-celah kecil berjumlah enam buah. Masing-masing celah berukuran 5 x 20 cm, disusun dua baris, di tiap barisnya ada tiga celah.
Aku memandang sekeliling kamar. Tidak ada perabotan atau barang bukti lain. Kasus ini sepertinya akan sulit dipecahkan, karena tidak ada seorang pun yang tahu, siapa keluarga Jejak Kelana dan orang-orang yang dekat dengannya sebelum meninggal. Namun, pandanganku terhenti ketika menemukan sebuah goresan panjang di lantai kamar dekat jendela.
Aku memanggil pemilik kos. Cik Lina namanya, seorang wanita keturunan Tionghoa berbadan tambun dan berwajah ramah.
“Apa sebelumnya ada benda besar atau berat di sebelah sini?” Aku menunjuk titik di mana terlihat ujung goresan di lantai.
Wanita itu terlihat menerawang, seperti mengingat-ingat sesuatu. “Ah, iya! Di sini sebelumnya ada meja, kakinya terbuat dari besi. Itu yang hilang dari kamar ini!” serunya kemudian.
Aku lantas bergegas melihat di mana goresan di lantai itu berujung. Rupanya berakhir di bawah jendela. Pasti meja itu di lempar keluar dari lantai dua. Samping bangunan adalah kebun kosong, kemungkinan, benda itu jatuh di sana.
Ditemani Bripda Ajisaka, aku menuruni lantai dua, lantas menuju ke samping bangunan. Setelah sekian menit mencari, kami tidak menemukan apa-apa. Padahal logikanya, jika hanya dilempar saja dari atas, meja itu pasti jatuh tak jauh dari sini.
Aku berjalan ke belakang bangunan. Kakiku tersandung sesuatu, rupanya dua kaki dari meja besi. Pasti ini kaki meja yang dimaksud Cik Lina. Namun, di mana lacinya?
“Briptu JP, ini seperti bekas timbunan tanah.” Bripda Aji menunjuk tanah di dekat tempatnya berpijak, tak jauh dariku.
“Pasti ada sesuatu yang dikubur. Cepat, pinjam alat untuk menggali!”
Tak berapa lama, Aji datang bersama dua orang warga dan membawa cangkul. Salah seorang warna berperawakan gempal, menggali gundukan tanah tersebut. Setelah beberapa kali mencangkul, akhirnya sebuah laci besi ditemukan. Saat hendak dibuka, rupanya laci itu terkunci. Sial!
Seorang warga mengusulkan untuk membongkar laci kayu itu memakai kapak. Aku langsung menyetujuinya untuk mempersingkat waktu. Namun, tak semudah yang kupikirkan. Rupanya, laci itu sangat keras dan sulit untuk dibongkar. Lima belas menit, kami baru berhasil membongkarnya.
Ternyata isinya adalah satu buku teka-teki silang edisi lama dan selembar resi pengiriman dari kantor pos. Aku membaca alamat di resi itu, rupanya sebuah daerah di luar kota. Di lembar kertas kuning itu tertera juga tanggal pengiriman, yaitu dua hari sebelum mayat Jejak Kelana ditemukan. Artinya, setelah mengirim paket, Jejak Kelana lantas gantung diri. Ya, pasti begitu!
“Bagaimana?” tanya Aji.
“Kita balik saja. Jenazahnya sudah diurus tim forensik, kan?”
Aji mengangguk. Lantas kami berpamitan kepada warga dan juga Cik Lina, kemudian kembali ke kantor. Beberapa wartawan menanti di dekat mobil yang kuparkir di depan TKP. Mereka serentak menyodorkan mikrofon, mengangkat kamera, dan mulai bertanya soal olah TKP dan perkembangan kasus. Aku hanya menjawab seperlunya, lantas masuk ke mobil, meninggalkan mereka yang terlihat masih penasaran.
Sebenarnya, aku tak ingin menghindar. Hanya saja belum bisa memberi informasi apa pun. Hanya TTS dan lembar resi yang mungkin bisa jadi kunci untuk mengetahui, apa motif Jejak Kelana gantung diri, atau ada kemungkinan lain, seperti di bunuh orang.
***
Aku masih penasaran, apa yang bisa kutemukan dalam TTS ini? Sudah berkali-kali aku meneliti halamannya satu per satu di kantor tadi, bahkan sampai di rumah pun, aku masih belum menemukan keanehan atau petunjuk dalam benda ini. Lelah, aku mengambil soft drink di kulkas, lantas menenggak isinya hingga tandas. Lalu, kembali lagi menatap lembar demi lembar halaman TTS itu.
“Ah, iya! Bodoh kau, JP! Ada empat halaman yang hilang dari TTS ini, tepat di lembar pertengahan TTS!” Aku menepuk jidatku sendiri, kenapa tidak terpikir dari tadi?
Akhirnya aku memutuskan untuk mencari TTS edisi yang sama ke pasar loak dekat stasiun. Seorang pedagang buku-buku bekas di sana adalah temanku semasa SMP, Segara namanya. Dia pasti punya TTS edisi sama dengan yang kutemukan.
Tak menunggu lama mencari, Segara berhasil menemukan benda yang kuminta. Dia meminta bayaran yang berkali-kali lipat lebih mahal dari harga TTS biasa.
“Teman ya, teman. Bisnis ya, bisnis, Bro, ujarnya sambil tertawa.
“Dasar!”
Selembar rupiah berwarna merah, berpindah dari tanganku. Segara tertawa lepas, lantas mengibas-ibaskan uang yang kuberikan, ke buku-buku dagangannya. “Laris… lariiiss ….”
Kios milik Segara cukup luas, lebih mirip seperti perpustakaan. Dia membeli dan menjual buku-buku bekas yang kondisinya masih layak untuk dibaca. Segala macam buku, ada di sana. Mulai dari buku pengobatan, sejarah, novel, bahkan kisah stensilan. Pelanggannya cukup banyak, terbukti sejak aku tiba, banyak orang keluar-masuk dari kios ini. Ada juga yang singgah di tempat membaca, sama sepertiku sekarang.
TTS sudah di tangan, tinggal mengisi lembar yang hilang. Kemungkinan petunjuk itu ada di antara jawaban teka-teki. Namun, setelah lima belas menit, baru beberapa pertanyaan yang berhasil kujawab. Rupanya TTS ini cukup sukar dipecahkan.
“Bang, ada buku bekas tentang kedokteran dan obat-obatan?”
Sebuah suara lembut, membuatku sejenak mengalihkan pandangan dari TTS. Tak jauh dariku, seorang gadis berperawakan mungil memakai baju seperti boneka, berdiri dan berbicara dengan Segara. Entah magnet apa yang dia miliki. Di mataku, gadis itu terlihat menggemaskan sekali.
Dia menerima sebuah buku tebal bersampul putih dengan gambar daun-daun dan alat penumbuk tradisional dari Segara. Dia tersenyum, manis. Gadis itu mengambil tempat duduk tak jauh dariku. Aku tertarik untuk mendekat, penasaran dengannya.
“Hai!” sapaku ragu-ragu.
Gadis itu menoleh, dan aku dapat melihat dengan jelas mata bulatnya yang berkilauan. “Ya?” tanyanya.
“Kamu sering ke sini?” Aku ikut duduk di sampingnya.
“Tidak sering. Hanya kalau ada buku yang ingin kubeli.” Gadis itu kembali menatap buku di tangannya.
“Boleh aku tahu namamu?”