Sepulang dari tempat Anako, aku tidak bisa berhenti memikirkannya. Gadis kecil, rumah kayu tua, dan benda-benda kuno, semuanya terasa aneh, tetapi unik bagiku. Lebih aneh lagi, dia punya kecepatan menghilang seperti hantu. Atau dia memang hantu?
Teka-teki silang yang kubeli dari pasar loak tadi tak kujamah lagi. Aku merebahkan tubuh di sofa dan menyalakan TV. Siaran berita dari Zone TV, tenpat ibuku bekerja. Tidak ada berita yang menarik perhatian. Kubiarkan TV itu menyala, sementara imajinasiku mengembara liar ke tubuh Anako yang kecil, benar-benar terlihat seperti gadis kecil. Tapi, dia bilang usianya sudah dua puluh tahun. Melihat dari bentuk pinggulnya, kurasa seharusnya dia memiliki dada yang cukup ranum. Tapi, kenapa malah terlihat rata?
Imajinasi liar itu terhenti ketika melihat siaran berita tentang kasus bunuh diri Jejak Kelana yang kutangani kemarin. Aku tersentak ketika mendengar berita yang dibacakan ibuku.
Seorang penulis misterius ditemukan tewas di sebuah kamar kos di kawasan Jakarta Selatan. Menurut warga sekitar, korban diduga meninggal karena dibunuh. Pelakunya tak lain adalah suami kekasih korban.
Apa? Kenapa ibuku bisa menyebarkan berita yang belum jelas? Padahal pihak kepolisian belum mengeluarkan pernyataan apa pun tentang kasus itu! Ini adalah hoax, bisa jadi fitnah!
Berita yang hanya berdurasi tak sampai tiga menit itu hanya menampilkan video para warga yang ramai menonton proses evakuasi korban dari kamar kos. Terlihat juga mayat korban yang diangkut dan dibawa masuk ke dalam ambulan. Sementara narasi berita yang terdengar di telingaku, sama sekali tidak menyebutkan adanya bukti yang memperkuat dugaan pembunuhan. Berita macam apa ini?
Ponselku berdering. Sudah kuduga, komandan meneleponku. Ragu-ragu kugeser tanda hijau di layar.
“Kamu mengeluarkan pernyataan apa ke wartawan?” Suara Komandan Arie Wijaya terdengar mengintimidasi di telingaku.
“Saya tidak ada wawancara sama sekali dengan wartawan, Komandan.”
“Lalu, kenapa bisa muncul berita seperti itu?”
“Saya juga tidak tahu, Komandan.”
“Besok, jelaskan saja di kantor!”
Telepon ditutup sepihak. Malam ini benar-benar akan membuatku tak bisa tidur nyenyak. Hari yang rumit. Anako, Jejak Kelana, dan Komandan Arie. Huft!
***
Keesokan paginya di kantor, Komandan Arie memintaku menghadap. Aku sudah tahu, pasti ini ada hubungannya dengan berita semalam.
“Apa yang kamu dapat kemarin di TKP?”
“Sebuah TTS dan resi kantor pos, Ndan. Sepertinya korban mengirim sesuatu dulu kepada seseorang sebelum meninggal.”
Komandan Arie menatapku tajam. “Cuma itu?”
“Tidak ada tanda-tanda penganiayaan di tubuh korban, tapi hasil autopsi belum keluar. Mungkin nanti siang.”
“Penyebab kematian belum jelas. Lalu kenapa ada yang menyiarkan berita ke publik kalau dia adalah korban pembunuhan?”
Aku menghela napas sejenak. “Saya juga tidak tahu, Ndan. Padahal saya kemarin langsung meninggalkan TKP tanpa wawancara sepatah kata pun dari wartawan.”
“Baik. Nanti kita akan melakukan klarifikasi jika hasil autopsi sudah keluar.”
Aku menghela napas lega.
“Apa ada petunjuk lain?”
“Korban adalah penulis yang cukup terkenal di dunia maya, Ndan. Semua bukunya selalu dapat logo best seller. Tapi, identitas korban yang sebenarnya, tidak ada yang tahu, bahkan penerbitnya sekalipun.”
Pembicaraan kami berakhir setelah Komandan Arie memberi instruksi agar aku mengusut kasus ini sampai tuntas, dan aku menyanggupinya. Kebenaran memang harus ditegakkan, bukan?
Aku tak sepenuhnya yakin jika kasus ini adalah bunuh diri, tetapi juga tidak berani menyimpulkan kalau ini pembunuhan. Lalu, dari mana wartawan dari stasiun TV itu bisa menulis berita jika Jejak Kelana mati dibunuh suami dari kekasihnya?
Semalam aku menunggu Ibu pulang hingga ketiduran. Namun, hingga pagi tadi aku bangun, Ibu juga tidak ada. Dia hanya meninggalkan catatan di meja makan. Ibu sudah berangkat, kau sarapan saja dengan apa yang ada, tulisnya. Di meja makan hanya Dua potong roti bakar dan segelas susu putih. Aku kehilangan selera.
Hubunganku dengan Ibu memang tidak terlalu baik. Kami tinggal bersama sejak Kakek meninggal. Aku tidak pernah tahu siapa ayahku, dan juga tidak pernah ingin tahu. Baik Kakek ataupun Ibu, tidak pernah membahas tentang Ayah. Namun, aku tak ambil pusing. Kasih sayang Kakek hingga aku dewasa, itu rasanya sudah cukup. Di akta kelahiran pun, tertulis bahwa aku adalah anak Kakek Pratama. Karenanya, nama belakangku juga memakai nama Kakek. Johan Pratama.
Sebenarnya, bukan cuma sekali aku mendapati ibuku memalsukan berita. Entah itu kehendaknya sendiri atau atas suruhan atasannya untuk menaikkan rating, aku kurang tahu pasti. Dan bodohnya, masyarakat banyak yang percaya dan menelan mentah-mentah berita yang Ibu sebarkan. Aku juga tidak menyalahkan mereka, karena sebenarnya, ibuku yang paling bertanggung jawab atas penyebaran berita-berita hoax. Namun, masyarakat harusnya juga lebih cerdas dalam menerima informasi, jangan ditelan mentah-mentah.
Setelah meninggalkan ruangan Komandan Arie, aku bergegas menemui Fajar. Dia sahabatku yang bekerja sebagai dokter forensik di Rumah Sakit Bhayangkara—rumah sakit milik Polres Jakarta Selatan. Kami kenal sudah sejak SMA. Dia melanjutkan studi kedokteran, sementara aku masuk akademi kepolisian.
Aku sering berkonsultasi dengannya. Selain masalah kesehatan, kadang aku juga sharing tentang psikologi. Dia memang bukan lulusan Fakultas Psikologi, tetapi dia memang mempelajari ilmu psikologi sejak SMA. Kamarnya disulap jadi perpustakaan. Berbagai macam buku mulai dari kesehatan, racun, filsafat, dan juga tentang psikologis dia punya. Hmm … mungkin tidak ada salahnya jika aku bertanya mengenai Anako.
Entah kenapa, bayang-bayang gadis itu tak mudah pergi begitu saja dari ingatanku. Aku penasaran, kenapa gadis itu suka berdandan seperti anak kecil? Aku yakin, itu bukan sekadar gaya. Pasti ada sesuatu yang melatarbelakangi penampilannya.
“Lu sedang jatuh cinta?” Suara Fajar mengagetkanku. Aku memang sempat melamun ketika menunggu di depan ruangannya.
“Apaan sih, lu! Ngagetin aja.”
Fajar membuka pintu. Aku turut masuk dan duduk di kursi tamu. Ruangan Fajar cukup luas, ada kulkas, kamar mandi dalam dan sofa tidur. Dia memang jarang pulang ke rumah. Karenanya, rumah sakit pun memfasilitasi ruangan sekaligus tempat beristirahat.
“Hasil autopsi Jejak Kelana udah keluar?”
Fajar mengambil minuman kaleng dari kulkas, menyodorkan satu untukku. “Udah. Ada kandungan obat tidur di darahnya. Kemungkinan, dia digantung dalam keadaan tidur.”
“Jadi, pembunuhan? Bukan gantung diri?”
“Ya, bisa saja. Tidak ada tanda-tanda kekerasan, seperti lebam atau hantaman benda tumpul. Tubuhnya bersih. Hanya ada bekas jeratan leher dari tambang yang digunakan untuk bunuh diri.”
“Hmm … artinya, ada dua kemungkinan. Dia dibunuh oleh orang yang dia kenal. Atau ada yang sengaja memberinya obat tidur dalam makanan atau minumannya, baru dia digantung.”
Fajar mengangguk-angguk. “Bisa jadi,” dia meminum sodanya beberapa teguk, lalu melanjutkan, “Apa tidak ada bukti makanan atau minuman di TKP?”
“Tidak ada. TKP bersih. Tidak ada barang bukti atau petunjuk. Cuma ….”