Malam itu juga, aku menuju TKP yang ditunjukkan Komandan Arie. Beruntung, aku tidak tersesat ketika pulang dari rumah Anako. Kasus ini bukan kasus biasa, karena yang meninggal adalah putri pejabat daerah. Jadi, wajar saja kalau Komandan Arie ikut turun tangan.
TKP tidak begitu ramai. Hanya ada Komandan Arie, Aji, dan keluarga korban. Rupanya, kabar ini belum sampai ke media. Entah apa yang ingin disembunyikan oleh keluarga korban.
Korban berusia 22 tahun, tewas tergantung di langit-langit kamar. Tidak ditemukan tanda-tanda kekerasan pada tubuhnya. Dia memakai kaus warna putih dan celana jeans hitam. Kemungkinan, dia meninggal dua jam yang lalu ketika keluarganya sedang tidak ada di rumah.
Tak lama kemudian, petugas medis datang. Korban diturunkan dari posisi semula setelah aku mengambil beberapa gambar. TKP mulai ramai, pihak media mulai berdatangan.
“Tolong, jangan katakan apa-apa ke media,” ucap ayah korban, yang tak lain adalah wakil kepala daerah.
Komandan Arie hanya menatapnya.
“Kami tidak ingin kematian Erlyna ini jadi kasus yang panjang dan berlarut-larut. Anggap saja dia bunuh diri karena depresi.”
Aku merasa aneh dengan pernyataan orang tua ini. Anaknya meninggal, tapi bisa-bisanya menganggap mudah kasus kematian putrinya sendiri. Aku yakin, ada yang tidak beres!
Aku meneliti jenazah korban. Cukup janggal jika gadis ini bunuh diri. Orang yang mengakhiri hidup dengan gantung diri, biasanya lidahnya akan terjulur keluar dengan mata terbuka. Namun, mata dan mulut gadis ini tertutup rapat. Sekilas, kasus ini mengingatkanku pada Jejak Kelana. Kematian dua korban ini hampir sama.
Tewas dalam keadaan tergantung!
“Kami tidak akan menutup kasus ini begitu saja, jika ditemukan bukti-bukti yang mengarah kepada pembunuhan,” ucapku kepada pria paruh baya berkepala plontos itu.
“Kenapa tidak bisa? Dia anak saya! Saya yang lebih berhak menentukan!” Nada suara lelaki itu mulai meninggi.
Sementara istrinya yang terisak sejak tadi, mulai memeluk dan menenangkan sang suami.
Aku menatap Komandan Arie, meminta persetujuan. Dia balas menatap dan mengangguk, seakan membenarkan tindakanku.
“Maaf, tapi ini adalah negara hukum. Jadi, kasus ini pun akan diproses sesuai prosedur hokum yang berlaku.”
Setelah memberi pengertian, aku dan yang lainnya meninggalkan TKP. Yang tersisa hanya para awak media. Jenazah korban sudah dibawa ke rumah sakit beberapa menit sebelumnya.
Aku teringat sesuatu yang ganjil. Di kerah kaus korban, ada kotoran—mungkin semacam arang—menempel. Cukup aneh, karena bisa dipastikan, rumah itu dan juga lokasi tempat korban ditemukan tewas, sangat bersih. Jadi, bagaimana mungkin ada arang yang menempel di bajunya?
Dan yang lebih aneh lagi, kenapa ayah korban buru-buru ingin menutup kasus kematian putrinya? Jika alasannya hanya karena tak ingin jadi bulan-bulanan media, sepertinya kurang masuk akal. Aku harus menyelidiki kasus ini?
Setelah berbincang dengan Komandan Arie di kantor, aku memutuskan pulang dan beristirahat. Waktu menunjukkan jam dua dini hari. Benar-benar malam yang terasa panjang dan melelahkan.
Sampai di rumah, rupanya Ibu belum tidur. Dia duduk di ruang tamu sambil menontin TV.
“Kenapa baru pulang, J?”
Aku berjalan malas menghampirinya. “Ada kasus kematian anak pejabat barusan. Ibu tumben belum tidur?”
“Ibu nungguin kamu, Sayang."
Aku duduk di samping Ibu. “Bu, kenapa menyebarkan berita yang belum tentu kebenarannya?”
Ibu yang semula masih menatap TV, akhirnya menoleh ke arahku. “Berita yang mana?”
“Kematian Jejak Kelana. Belum jelas siapa yang membunuhnya, kenapa Ibu mengatakan kalau dia dibunuh suami kekasihnya?”
Ibu kembali menatap TV. “Lelaki seperti di aitu tipe player. Ibu banyak mencari info tentang dia di social media. Sepertinya, dia terlibat hubungan serius dengan istri orang. Jadi, bisa saja yang membunuhnya adalah suami dari wanita itu.”
Aku menggeleng tak percaya. Bagaimana bisa Ibu berpikiran seperti itu. “Tapi, belum ada bukti yang pasti. Seharusnya media belum berhak menayangkan berita yang mengarah kepada orang yang kemungkinan jadi tersangka.”
“Dalam berita itu, ibu hanya menyebutnya dengan ‘dugaan’, jadi tidak ada yang salah. Namanya juga baru menduga-duga.” Ibu asyik memencet remote dan mengganti saluran TV.
“Tapi pihak kepolisian belum mengeluarkan pernyataan apa pun. Seharusnya Ibu tidak boleh seperti itu.”
Ibu mematikan TV dan berdiri. “Sudah menjelang pagi. Tidurlah.”
Dia lantas masuk ke kamar, meninggalkanku dengan sejuta pikiran, tak mengerti dengan apa yang ibuku pikirkan.
*
Keesokan harinya, wakil kepala daerah itu menemuiku. Namanya Lukito. Dia datang bersama istrinya yang lebih banyak diam dan terisak. Mungkin memang seharusnya seperti itu jika orang tua kehilangan anaknya. Itu pertanda jika mereka mempunyao hubungan yang dekat. Ah, aku sendiri juga takt ahu hubungan dengan keluarga itu seperti apa. Karena hubungan dengan Ibuku sendiri juga tak begitu baik.
“Saya minta, kasus kematian anak saya ditutup!” Lelaki itu menatapku tajam.
“Kenapa begitu, Pak? Apa anda tidak ingin tahu penyebab kematian putri anda yang sebenarnya?”
“Penyebab apa lagi? Sudah jelas kalau dia mati bunuh diri!”
Lukito melirik pundakku, lalu tersenyum. Senyum yang terkesan meremehkan, karena melihat pangkatku—yang mungkin dianggap rendahan olehnya.
“Biar aku bertemu dengan atasanmu!” Dia lantas berdiri tanpa menunggu jawabanku.
Istri Lukito yang sejak tadi hanya melihat perdebatan kami, akhirnya mendekat dan duduk di depanku. Dia memakai pakaian dan tutup kepala serba hitam, sama dengan yang dipakai Lukito. Mungkin putri mereka sudah selesai dimakamkan. Semalam setelah autopsi, jenazah Erlyna langsung dibawa pulang.
“Sebenarnya, saya juga ingin mengetahui penyebab pasti kematian putri saya,” ujarnya sambil menyeka air mata, “Tetapi suami saya enggan, karena menurut dia, ini aib keluarga. Seorang putri pejabat, kenapa bisa meninggal dalam keadaan mengenaskan?” Dia kembali menangis.
“Apa anda bisa membantu saya, memberikan beberapa informasi yang mungkin ada kaitannya dengan kematian putri anda?”