“Assalamu’alaikum, Mak, Abah.” Gadis itu mencium tangan Pak Somad dan Bu Zaenab. Ketiganya lantas memasuki rumah.
Setiba di teras Bu Zaenab menghentikan langkah.
“Rosnah, ada saudaramu yang datang dari kota. Ini dia orangnya,” Bu Zaenab menunjuk Vandi.
“Saya boleh bersalaman, Mak?”
“Tentu boleh. Kalian kan masih bersaudara.”
Rosnah menjabat tangan Vandi. Terasa aneh. Sama-sama bersaudara tapi tak pernah saling kenal.
“Kamu sudah shalat ashar belum, Ros? Kalau belum, cepat shalat. Waktu sudah mau habis,” Pak Somad mengingatkan.
“Sudah, Bah. Tadi Rosnah mampir ke masjid.”
“Kalau begitu pergilah mandi, Ros. Nanti keburu magrib,” suruh Bu Zaenab pula.
Rosnah pergi ke kamar, lalu keluar lagi sambil menenteng handuk.
“Vandi, nanti kamu harus shalat magrib bersama kami.”
Vandi garuk-garuk kepala, tampak bingung.
“Kenapa? Semua orang yang masuk ke rumah ini, harus melakukan shalat!”
“Tapi…”
“Tapi apa? Tidak bisa shalat? Orangtuamu tidak pernah mengajarimu shalat?”
“Pak, jangan bicara seperti itu pada Vandi,” potong Bu Zaenab.
“Alaa, kamu ini membela dia terus. Tidak anaknya, orangtuanya, semua kamu baik-baikkan. Apanya yang baik dari mereka? Orang tidak mau shalat begitu dibaik-baikkan.”
Bu Zaenab diam.
Pak Somad melangkah ke mushala. Sebentar saja sudah terdengar suaranya melantunkan ayat-ayat Al Qur’an.
“Van, maafkan ucapan pamanmu tadi ya? Dia memang begitu kalau ngomong. Tidak mau berpikir dulu.”
“Tidak apa, Bi.”
“O ya, kalau kamu mau shalat sendiri, boleh kok, Van.”
“Ya, Bi, nanti saya shalat sendiri saja di kamar.”
Rosnah yang sudah selesai mandi dan berganti baju, segera mendekati emaknya yang masih duduk-duduk di teras bersama Vandi. Gadis itu tetap mengenakan kerudung. Kemeja lengan panjang dan roknya yang besar seakan menyelubungi tubuhnya yang mungil. Di tangannya tergenggam sehelai kain dan benang jahit.