Vandi tergagap bangun ketika terdengar suara benda jatuh. Ia mengucek-ngucek matanya yang terasa gatal. Seketika tangannya memencet tombol di ponsel.
“Astaga…, jam sembilan?!” Mata Vandi melotot. Ia meloncat dari tempat tidur.
Sejenak Vandi mendengus melihat kaleng terlempar di dekat sandalnya. Diambilnya kaleng itu dan diletakkannya di atas lemari.
“Dasar tikus, kurang kerjaan.”
Dengan setengah mengantuk Vandi menyambar handuk. Badannya sempoyongan keluar dari kamar.
Suasana di dalam rumah itu tampak sepi. Tak dijumpainya Paman, Bibi atau Rosnah.
Ketika Vandi melangkah ke belakang, terlihat bibinya sedang memetiki cabe rawit di pekarangan.
“Bi, ke mana Paman dan Rosnah?”
“Eh, Vandi. Kamu baru bangun ya? Pamanmu sudah pergi ke ladang. Rosnah juga sudah berangkat jam setengah enam tadi.”
“Jam setengah enam? Pagi sekali?”
“Iya. Tempat kerja Rosnah kan jauh dari sini. Kalau tidak berangkat pagi, bisa kesiangan sampai di sana.”
“O ya sudah, Vandi juga mau mulai kerja, Bi.”
Vandi segera mandi.
Tak ada satu jam ia sudah siap berpakaian santai. Dipakainya celana kanvas warna bulu unta dan kaus warna putih. Dipakainya kemeja lengan pendek tanpa kancing. Kamera foto sudah tergenggam di tangannya. Sebentar kemudian ia sudah melesat menyusuri jalanan di kampung itu.
Sampai kira-kira lima ratus meter, pemandangan yang terlihat hanya rumah-rumah penduduk. Vandi mencoba melaju mengikuti jalan kecil satu-satunya yang ada di kampung itu. Hingga tak terasa sudah jauh meninggalkan rumah paman dan bibinya.
Sesampai di sebuah perbukitan, Vandi berhenti. Ia melangkah turun sambil mencengkeram kamera fotonya.
Pemandangan yang terlihat di sekitar perbukitan itu tampak asri. Dari tempat tinggi itu Vandi bisa melihat hutan yang begitu perkasa. Pohon-pohon besar berdiri dengan kokoh. Di sisi hutan ada beberapa petak sawah dengan tanaman padi yang masih hijau.
Vandi membidikkan kamera ke arah sawah itu. Beberapa foto diambilnya dari sudut pandang yang berbeda. Merasa puas, ia masuk ke dalam mobil kembali.