Vandi membuka mata ketika mendengar suara keras dari orang-orang di dalam rumah. Ditambah derum motor yang sebentar bunyi sebentar mati, membuatnya segera berjingkat dari atas kasur.
Tampak Rosnah kebingungan memegangi motornya yang ngadat. Abahnya hanya memandanginya dengan terbengong bego.
“Rosnah tidak bisa kerja, Bah. Motornya macet,” keluh Rosnah. Keringat keluar dari sekitar wajahnya.
“Bensinnya habis mungkin.”
“Baru kemarin Rosnah isi bensinnya, masa sudah habis? Biasanya motor ini paling irit.”
“Motornya rusak ya, Ros?” tanya Vandi.
Tidak ada jawaban. Tapi Vandi sudah paham apa yang terjadi.
“Kalau begitu saya antar kamu pakai mobil. Sekalian saya cetak foto,” kata Vandi. “Tunggu ya, saya mandi dulu.” Vandi cepat-cepat melesat ke kamar mandi tanpa menunggu jawaban Rosnah.
Setengah jam kemudian Vandi sudah muncul dengan berpakaian rapi. Ia mengajak Rosnah memasuki mobilnya. Gadis itu menurut saja.
“Berangkat sekarang tidak terlambat kan sampai di tempat kerjamu?”
“Mungkin tidak.”
“Baru jam enam. Saya mau ngebut.”
Vandi mulai menghidupkan mesin mobil.
“Nanti kamu kasih tahu jalan yang harus saya lalui ya?”
“Hmm.”
Saat keluar dari perkampungan, embun pagi tampak mengepul, sedikit menghalangi pandangan. Matahari juga tak nampak. Kalau mereka tak berada di dalam ruangan, mungkin udara akan terasa sangat dingin. Vandi jadi tak dapat membayangkan bagaimana payahnya Rosnah ketika harus berangkat pagi-pagi dengan melawan udara dingin yang sangat menyengat.
“Sudah berapa lama kamu kerja di koperasi itu, Ros?” tanya Vandi. Bibirnya serasa lumutan kalau tak bicara dalam waktu lama.
“Setahun.”
“Waah, lumayan juga ya. Berapa gajinya?”
“Kalau dibandingkan dengan gajimu, tentu tidak seberapa.”
“Seberapa pun kecil gaji kita, asalkan cukup, itu sudah bagus. Saya sendiri kerja bukan sekadar mencari uang, tapi menyalurkan bakat dan kreativitas.”
“Kamu tidak usah kerja juga tidak masalah. Orangtuamu kan kaya. Kamu bisa makan, bisa jalan-jalan, tanpa perlu repot-repot mencari uang.”