Bukan Insan yang Baik

Wafiqah
Chapter #8

Siapa yang Duduk di Gubuk?

Pak Somad menyeruput kopinya berkali-kali. Matanya tak juga melepaskan pandangan dari arah televisi. Saat itu salah satu kanal menyiarkan berita tentang perampokan. Telinganya mencoba mendengarkan berita itu dengan baik.

“Perampok itu sangat kejam. Mereka merampok beramai-ramai dan membantai pemilik toko dengan senjata tajam. Saat ini mereka jadi buron,” begitulah kata penyiar televisi itu.

Mata Pak Somad membesar. “Heran…, zaman sekarang banyak orang jahat. Dasar dunia, tidak habis-habis dengan cerita serem. Ah, masa bodohlah, bukan urusan saya. Mending pergi ke ladang.”

Pak Somad mematikan televisi itu. Sejenak ia menghabiskan kopinya, lalu berjingkat ke belakang mengambil parang. Diselipkannya parang itu ke balik ikatan sarungnya di bagian pinggang sebelah kiri. Begitulah kebiasaannya, selalu melilitkan kain sarung ke bagian perutnya. Sedang pakaian yang dikenakannya sehari-hari jika ke ladang adalah pakaian berwarna hitam berlengan pendek, dan celana ngantung dengan warna yang sama.

Pak Somad menyusuri jalanan kampung dengan berjalan kaki. Langkahnya sangat cepat. Usai menyusuri jalanan kampung, ia memasuki daerah hutan. Beberapa kali melewati tanah perbukitan, akhirnya sampailah ia di area ladang. Ia harus melewati ladang tetangga dulu beberapa petak, barulah kemudian sampai di ladangnya sendiri. Hari ini ia akan menyiangi rumput yang mengganggu tanaman ketimunnya.

Baru beberapa saat Pak Somad melakukan pekerjaannya, tiba-tiba matanya menjumpai potongan sisa buah ketimun.

“Kurang ajar! Masih berani juga orang-orang ini mencuri tanamanku!” Pak Somad naik pitam. Tangannya mengepal, seolah siap melayangkan tinju pada seseorang. Karena marah, tangannya jadi cepat-cepat menyiangi rumput. Mulutnya tak berhenti mengomel.

Hingga tak terasa hari mulai siang. Matahari mulai memancar ganas. Panasnya ibarat membakar badan. Berulangkali Pak Somad mengusap peluh yang mengalir di sekitar dahi dan lehernya. Ia duduk di gubuk yang ada di pinggir ladang untuk beristirahat. Seperti biasa, ia mengipasi badannya dengan kain sarungnya.    

“Baah…! Abaaah…!” Tiba-tiba seseorang memanggil dari kejauhan. Langkahnya tergesa-gesa.

“Ada apa, Min? Seperti dikejar harimau saja?”

Orang itu duduk dengan napas tersengal.

“Kamu tidak mengurus ladang?”

“Sudah. Amin baru saja istirahat.”

Laki-laki bernama Amin itu menata napasnya sejenak, lalu bertanya dengan serius, “Bah, apa Ramlan sudah pulang dari Kalimantan?”

“Ramlan? Pulang dari Kalimantan? Apa maksudmu?”

“Ya maksudnya Ramlan pulang ke rumah Abah.”

Lihat selengkapnya