Pagi itu Rosnah kembali kedatangan Bu Rusmiati. Seperti biasa ia merasa terganggu. Tapi setelah berbicara sebentar, akhirnya ia bersedia membuatkan surat pernyataan meminjam uang di koperasi itu atas nama dirinya.
“Saya akan buatkan surat tanda meminjam. Nanti ibu tinggal mengganti uang pinjaman itu pada saya.”
Bu Rusmiati bukannya senang, tapi malah menangis.
“Kok ibu menangis?”
“Anak saya semakin parah sakitnya, Dik. Saya sangat membutuhkan uang untuk membawanya ke rumah sakit. Bukan surat itu yang saya inginkan.”
“Ibu ini bagaimana ya? Saya kan sudah bersedia membantu ibu untuk membuatkan surat tanda meminjam atas nama saya, tapi sekarang ibu malah bilang tidak butuh. Apa maunya ibu sebenarnya?” Rosnah mulai berang.
Muka Bu Rusmiati tampak sendu. Entah apa yang dirasakannya. Mungkin kepedihan yang sangat akibat keadaan anaknya.
“Hari ini suratnya baru akan saya buat, tapi tidak bisa langsung jadi dan harus menunggu persetujuan dari bapak pimpinan koperasi. Kalau ibu setuju, sekarang ibu pulang dulu. Besok datang ke sini lagi.”
Bu Rusmiati masih tidak bersuara.
“Setuju tidak?”
“Terserah kamu saja,” Bu Rusmiati berucap pendek, lalu beringsut.
“Dasar orang aneh!” Rosnah mendesis kesal.
Teman-teman Rosnah yang berulangkali melihat kejadian itu, hanya menggeleng-geleng.
Isah mencoba mendekat dan menasihati Rosnah.
“Rosnah, kalau kamu tidak mau meminjamkan uang, kamu bisa berkata baik-baik padanya, tidak perlu bicara ketus dan mengusir. Dia sedang kesusahan tapi kamu malah menambah kesusahan.”
“Apa yang kamu katakan, Sah? Saya kan sudah mau membuatkan surat untuknya. Saya juga sudah mau membuatkan surat tanda meminjam atas nama saya. Apa itu belum cukup?”
Isah tak menanggapi perkataan Rosnah. Ia buru-buru pergi.
***
Ketika Vandi datang menjemput Rosnah, wajahnya tampak sumringah. Mulutnya tak berhenti bersenandung. Entah kenapa dengan pemuda itu. Keceriaannya berbeda dengan Rosnah. Gadis itu bermuram durja. Mungkin penyebabnya karena sikap Bu Rusmiati tadi atau dimarahi pimpinan koperasi lagi.