Bagi para seniman novel fiksi, tentu saja 'ide cerita' menjadi sesuatu yang amat berharga. Nilainya paripurna, bahkan tidak bisa dibeli dengan uang, meskipun kata orang, uang dapat membeli segala-galanya. Jika sebagai akomodasi atau penyedia layanan, perihal uang memang benarlah adanya. Namun pandangan seperti itu tak ubah makna dengan pandangan tukang batu di zaman dahulu yang berkata; bahwa segala sesuatu dapat diselesaikan dengan palu godam.
Tidak! Air tidak dapat dihancurkan oleh palu, sementara karya sastra adiluhung cuma bisa dibayar dengan seni berpikir kreatif.
Demikian apa yang dirasakan oleh Ikhsan Aditya, saat pemuda itu memutuskan untuk turut serta dalam pergelaran novel bertema 1998. Sudah dua bulan ini sikapnya uring-uringan mencari ide cerita yang belum jua tampak hilalnya. Roda pikirannya cuma tertuju pada kotak imajinasi yang bersarang jaring laba-laba beserta bisikan jangkrik yang tak henti mengiringi. Ia jelas butuh cerita yang orisinal demi karirnya di dunia kepenulisan.
Sore hari yang cerah, Ikhsan berkeliling kota naik motor andalannya. Vario 125. Melaju pelan tanpa tujuan di jalan yang membelah gedung-gedung menjulang sambil terus menggali ide cerita yang tak kunjung datang. Burung-burung kecil pun berterbangan, menikmati kehangatan sisa-sisa sinar mentari siang.
Beberapa saat kemudian motor Ikhsan menepi di pinggir jalan yang sering ia lewati, lalu parkir di belakang sepeda motor yang menjual kopi seduh.
Seorang pria berusia kisaran lima puluh tahun tampak duduk di trotoar. Sikapnya serasa mencampakkan apa pun. Raut wajahnya datar mengambang.
"Beh, kopi, Beh," sapa Ikhsan yang memang sudah mengenal pria yang seakan-akan punya dunia sendiri itu. Beberapa temannya seringkali mengajak nongkrong di area sekitar trotoar. Lokasinya nyaman untuk meriung bersama, terdapat pepohonan rimbun dengan pot beton memanjang yang bisa diduduki. Pria tua penjual minuman itu pun menengok, lalu beranjak.
Ikhsan kemudian duduk sembari mengamati para pengguna jalan yang tak henti berlalu-lalang. Hatinya merasa yakin, ide-ide segar akan mengalir mengisi kotak imajinasinya. Bagaimanapun, tema lomba mengharuskan setting waktu di luar pengalaman hidup yang ia rasakan. Ia sungguh berharap, suasana hiruk-pikuk kehidupan urban sore itu bisa membuat imajinasinya melayang-layang mengunjungi situasi tahun 1998.
"Makasih ya, Beh."
Pemuda berkacamata dengan sorot mata yang selalu menyiratkan rasa penasaran itu menerima gelas plastik. Baginya segelas kopi hitam adalah teman setia kala menulis ataupun menggali ide cerita.
Bapak penjual minuman lantas duduk di sebelahnya.
"Sendirian aja, San?" ia bertanya saat Ikhsan baru saja mengeluarkan ponsel.
Ekspresi pemuda itu pun agak terkejut, tak menyangka jika pria tua penjual kopi yang terlihat apatisis itu mengajaknya berbincang. Hal tersebut memang belum pernah terjadi sebelumnya. Boro-boro untuk mengajak diskusi orang lain, untuk bicara beberapa patah kata pun, tidak.
"Iya, Beh, saya lagi ada tugas," balas Ikhsan.
"Tugas kuliah?" pria itu bertanya lagi.
Ikhsan kembali memasukkan ponsel. "Bukan, Beh, tugas kuliah mah gampang." Jawabnya.