Hidupmu tidak sebercanda itu.
Ya. Awal-awal menikah, aku belum banyak mengerti tentang keseriusan hidup. Tak acuh pada hal baik dan buruk, pada sesuatu yang benar dan salah. Aku seperti bayi yang baru terlahir ke alam dunia ini. Jangankan untuk bisa melihat masalah dengan jelas, yang ada, aku hanya bisa mendengar jeritan hatiku sendiri. Maka kondisi kehidupan yang kami jalani pun terjadi serupa dengan yang aku katakan barusan; hidupmu tak sebercanda itu.
Dalam mengarungi bahtera rumah tangga, aku dan Astrid memiliki cukup banyak perbedaan. Seperti arah kanan dan kiri. Padahal kala itu kami sudah mempunyai satu anak yang berusia tiga tahun, bernama Fauzan.
Hal-hal kecil seperti berangkat jam berapa, mau makan di mana, pemilihan busana, aktivitas apa yang musti dilakukan, sampai 'harus bersikap seperti apa', senantiasa menjadi perdebatan panjang karena sulitnya bertemu muara. Pokoknya perbedaan pandangan, pendapat, dan keinginan terus saja mengisi hari, walaupun pada akhirnya aku yang selalu mengalah.
Astrid adalah orang paling 'susah' di muka bumi. Susah untuk dikasih tahu, susah untuk diatur, apalagi untuk saling bertukar pikiran atau menerima pandangan dari orang lain. Boro-boro.
Misalnya dalam satu perihal masalah. Aku ingin sekali kami tinggal bersama tanpa harus menumpang di rumah orang tua. Sementara, Astrid bersikeras tidak mau. Maksudku, hiduplah mandiri di rumah sendiri, atau bahkan mengontrak sebuah rumah jika itu yang ia inginkan. Namun istriku yang perfeksionis itu terus saja menolaknya dengan segudang alasan. Dia tidak juga berkenan untuk lepas dari orang tuanya. Atau pada intinya, ia memang tidak pernah mau kalah dalam hal apa pun.
Aku ingat, sekitar bulan Febuari atau Maret tahun 98', pada hari Minggu pukul sembilan pagi, aku kembali berseteru dengannya. Permasalahannya, dia ingin supaya aku betah tinggal di rumah. Padahal, percayalah, ketika aku terus berada di rumah, maka tetap saja ada masalah yang akan timbul kemudian. Dia pasti ingin aku melakukan aktivitas yang sesuai dengan apa-apa yang ia inginkan.
Tidak, tidak. Aku hanya ingin menjadi diriku sendiri. Menjadi seorang pelaut.
Hari itu semenjak bangun tidur, Astrid terus cerocos memarahi aku yang sedang bermain Super Nintendo di kamar. Padahal yang punya perangkat game tersebut adalah dia sendiri. Namun entah kenapa saat-saat itu aku begitu keranjiingan dengan permainan Mario World, dan merasa harus segera memenangkannya. Astrid pun merampas stik Nintendo yang masih kupegang dengan kedua tangan, lalu meletakkannya ke lantai
Aku katakan padanya; kenapa aku selalu salah dalam melakukan apa pun? Begini salah, begitu salah. Aku seperti seorang pengangguran yang menumpang hidup di rumahnya. Aku harus bagaimana, coba?
Dia bilang kalau orang tuanya mau, jika diriku menjadi orang benar dan betah untuk tinggal di rumah. Padahal jelas itu bukan keinginan orang tua, tetapi keinginannya sendiri. Aku paham betul bagaimana pandangan mertua, yang selalu mendukung setiap langkahku.
Aku terus membela diri, menggiring opini pada konteks permasalahan tentang 'hidup tak serumah dengan orang tua'. Namun ia terus mencela-cela kebiasaanku yang dirasa tak sesuai keinginannya. Bermula dari apa-apa yang ia tukaskan, aku berbalik melempar kritik pada dirinya, yang tidak hormat pada suami, suka memerintah, sangat cerewet, dan punya suasana hati yang selalu buruk setiap hari.
Perseteruan lisan tersebut makin lama makin bernada tinggi. Merembet keluar dari sebuah teguran yang awalnya tidak memperbolehkanku untuk bermain game.
Untunglah kejadian itu cuma terjadi di dalam kamar dan Fauzan sedang ikut neneknya pergi berbelanja ke pasar. Kentara sekali kegagalan kami sebagai pasangan suami istri bilamana tampak hal tersebut di hadapan mereka.
Dia banyak menyinggung tentang aku yang seringkali mabuk-mabukan. Aku yang suka menghamburkan uang. Aku yang terlalu bebas melakukan apa saja. Aku yang kerapkali menggampangkan segala sesuatu. Aku yang tak pernah mengerti tentang segala apa yang dimauinya. Giliran diberikan nasihat, aku seperti orang yang tidak punya telinga. Begitu katanya.