Aku masih ingat. Dialog Rose Dewitt Bukater yang diperankan oleh Kate Winslet menggema dalam ruang tamu di rumah kami. Suaranya bahkan terdengar sampai ke jalanan.
Jack, I want you to draw me like one of your French girls.
Layar televisi menghadap persis ke arah kaca jendela. Siang hari menjelang sore aku bersama Astrid sedang bersantai di sofa, nonton film Titanic sambil menikmati camilan. Posisi visual layar televisi tampak di atas rak buffet yang cukup tinggi. Adegan romantis dari dua artis brilian di kabin kapal pesiar itu pun makin memikat keempat kelereng mata kami agar tak berpaling. Namun aku masih sempat melirik Astrid.
Dunia sungguh terasa berikan karunia nyata tatkala suasana hatinya sedang berbahagia. Paras imut berhidung mungil lancip agak melengkung, cakap bersanding dengan bibir tipis serta alis mata yang lentik, demikian sempurna melengkapi tubuh seksi berkaus ketat berwarna hitam. Gim. Ketika dalam kondisi seperti ini, kusadari betul bahwa aku sangat mencintainya, dan rela berkorban apa pun demi dirinya.
Beberapa hari setelah aku meminta maaf, Astrid datang ke rumah kami untuk menonton film. Yakni rumah yang inginku dia menempatinya. Meskipun tergolong rumah mini, akan tetapi terdapat home theater, sofa mewah, ranjang megah, lemari artistik, dan aneka perabot yang harganya cukup mahal. Maklum, aku punya ambisi untuk menjadi orang sukses. Begitu pula dengan Astrid, sosok perempuan yang enggan merasakan sulitnya membeli kosmetik. Perihal inilah satu-satunya persamaan di antara kami; kesuksesan merupakan harga mati.
Tak lama kemudian, seiring suara dentingan piano yang menyertai adegan seni lukis bernilai erotis, kalimat-kalimat berisik terdengar dari luar rumah. Kami lantas menengok, melihat beberapa kepala juga ikut menyaksikan film dari balik pagar, bahkan ada satu orang yang naik di atasnya.
Astrid otomatis bergumam dengan suara seperti seorang gadis yang menerima kabar tidak menyenangkan. Ekspresi wajahnya cemberut menggemaskan.
Ini bocah pada gak tahu diri. Dari tadi nonton berisik banget! Demikian ucapannya yang aku ingat. Serta-merta ia mengambil remote VCD untuk menghentikan sementara film yang berlangsung, kemudian beranjak, menutup kaca jendela dengan gorden. Sosok hawa berambut pirang lurus itu memang seringkali merasa kesal jika ada hal-hal yang dianggap tidak pantas olehnya.
Aku katakan padanya untuk memaklumi hal tersebut. Kasihan mereka. Aku paham, tahun 1998 belum banyak orang yang memiliki perangkat pemutar sinema. Jadi, meskipun kami menonton film garapan James Cameron itu dengan kaset VCD bajakan sebanyak tiga keping. Hal tersebut sudah menimbulkan hasrat orang lain untuk ikut menyaksikan, dari luar rumah pun tidak masalah.
Astrid lalu mengecamku dengan dalih adegan dewasa, maka anak-anak kampung itu enggak boleh menontonnya. Dan seperti biasa, aku hanya bisa mengikuti alur tindakan darinya tanpa bisa membantah.
Setelah itu ia kembali duduk dengan kedua kaki menyelonjor ke meja kaca, menyaksikan kelanjutan film Titanic. Padahal aku jelas paham, bahwa jawaban istriku itu bukanlah jawaban sebenarnya, melainkan sekadar alasan supaya anak-anak di sekitar rumah tidak ikut menonton.
Aku menghela napas panjang, kemudian mengambil satu bungkus Chiki Potato, yang kini disingkat menjadi Chitato.