Astrid berdiri, lalu berkata; kenapa Nenek Yussi ikut datang? Padahal menurutku hal tersebut sama sekali bukan masalah, bahkan menginap atau malah tinggal di sini pun tidak jadi masalah. Memangnya kenapa? Namun, berbeda dengan Astrid. Wanita berkaos hitam dengan celana pendek yang masih terlihat seperti gadis itu memang tidak bisa ditebak. Ia mendudukkan Fauzan ke sofa, kemudian marah-marah pada ibunya.
Mendengar itu Nenek Yussi merasa kaget, lalu bilang kalau dirinya masih ingin bersama Fauzan. Astrid balik mengatakan, Fauzan sudah ada orang tuanya, jadi untuk apa Nenek Yussi ikut.
Kondisi yang sangat tidak enak itu lantas memaksaku untuk memotong percakapan mereka. Aku bilang pada Astrid, jika Fauzan yang inginkan Nenek Yussi ikut. Apa yang terjadi? Astrid malahan marah padaku dan berkata dengan ketus, dalam konteks menyalahkanku, kenapa justru membela ibunya.
Aku berdecak, sungguh merasa malas dengan kondisi yang kerap terjadi seperti ini. Benar saja. Setelah itu ia menggapai tubuh Fauzan, membawanya masuk kamar. Aku dan Nenek Yussi cuma bisa bergeming.
Sejak muda, Astrid memang berjiwa bebas. Pada beberapa fase hidup, ia bahkan pernah kehilangan kontrol diri. Aku tahu dari Nenek Yussi. Sejak masih remaja, ia seringkali berbeda pendapat hingga bersitegang dengan orang tuanya. Saat masih sekolah SMA, ia pernah merokok, kemudian terpergok oleh Nenek Yussi. Namun bukannya bertobat atas kesalahan yang dilakukan, ia justru kemas barang, pergi dari rumah selama dua minggu. Saat sudah dewasa dan menikah, ia pun tidak berubah, justru makin menjadi-jadi karena mungkin merasa punya uang.
Seperti itulah Astrid. Pikirannya sungguh sulit diterka. Tiada angin tiada hujan, suasana hatinya seketika dapat berubah-ubah. Tentatif parah. Aku dan keluarganya sungguh mengerti akan hal itu.
Sepeninggal Astrid dan Fauzan, aku dan Nenek Yussi pun berbincang-bincang. Wanita setengah baya yang terlihat masih segar bugar itu banyak bicara mengenai gadisnya —maksudnya anak perempuan satu-satunya.
Aku terus menggiring pembicaraan tentang kelakuan Astrid ketika aku sedang berlayar, meskipun sebenarnya aku sudah mulai curiga. Kesempatanku pada pembicaraan sore itu hanya sekadar untuk memastikan. Pas. Nenek Yussi yang baru saja tersinggung dengan perlakuan Astrid lantas bercerita mengenai kedatangan seorang tamu laki-laki yang merupakan teman SMA putrinya itu.
Ah, aku tidak terkejut mendengarnya. Aku yakin, Nenek Yussi tidak cerita perihal ini lantaran ditekan oleh Astrid untuk tidak bercerita kepadaku. Pantas saja sejak lama aku merasa ada sesuatu yang mengganjal, apalagi ketika menjejakkan kaki di rumah sepulang berlayar. Ternyata memang ada sesuatu yang terjadi tanpa sepengetahuanku.
Namun aku tidak serta-merta naik darah.
Aku termasuk tipikal orang yang selalu berpikir objektif. Makanya ketika mengetahui perihal ganjil itu aku masih tetap bersikap sabar dan tenang. Kecuali, jika aku melihat dengan mata sendiri saat Astrid berbuat sesuatu buruk yang tidak dapat dimaafkan itu, kemungkinan aku tidak akan bisa bersikap tenang. Lagi pula, aku belum mengerti kontes kedatangan teman SMA istriku itu. Apakah perbuatan selingkuh? Atau sekadar silaturahmi saja? Atau justru untuk satu keperluan butuh bantuan karena tidak ada siapa-siapa lagi yang menolongnya? Entahlah.
Malam hari selepas waktu Magrib, kami semua pulang ke rumah. Rencana untuk menginap di rumah milik kami bersama-sama dengan Fauzan pupus karena suasananya sudah terasa tak nyaman.