BUKAN KISAH SINETRON

Rudie Chakil
Chapter #5

Masa Perkenalan

Sewaktu masih muda, aku tergolong orang-orang yang memiliki selera tinggi terhadap wanita. Dalam arti, aku tidak bisa jatuh hati pada perempuan, terkecuali perempuan tersebut memiliki paras jelita serta tubuh yang seksi. Namun tidak cuma itu. Hatiku juga wajib sreg dengan keseluruhan sosoknya, luar ataupun dalam. Harus benar-benar bisa membuatku bertekuk hati. Karenanya pada usia yang cukup matang dan kedua orang tua sudah menuntutku untuk menikah, aku masih belum juga menunjukkan tanda-tanda hendak mengarah ke sana.

Berapa banyak gadis cantik yang coba mendekat padaku, tetapi aku kandaskan hubungan secara sepihak. Apalagi aku berasal dari keluarga kaya raya, sungguh kubuang jauh-jauh perasaan pada perempuan yang tidak jujur pada hatinya sendiri. Aku sombong? Tidak! Laki-laki memang harus selektif dalam memilih pasangan. Dan yang paling sulit bagi diriku ini adalah menemukan 'rasa sreg' di hati, maka itu cukup lama aku mencari, sampai kemudian aku bertemu dengan Astrid.

Pertemuan pertama aku dengan Astrid terjadi pada siang hari, di sebuah supermarket. Kala itu pun aku sedang ingin jalan dengan seorang gadis. Aku mampir sekadar untuk membeli camilan saja, tetapi sungguh tak menyangka, aku justru bertemu dengan sosok yang membuatku jatuh cinta.

Astrid sedang berbelanja perlengkapan rumah tangga. Ia memakai kaus putih, sepatu kets dan celana pendek, juga kemeja yang diikat di pinggang. Rambutnya lurus tergerai. Dari arah samping, aku begitu terpana melihatnya. Benakku seperti berbisik; ini sosok perempuan unik.

Ya. Ketika kita menilai sesuatu dengan penilaian 'unik', sesuatu itu bernilai lebih dari sekadar kata 'bagus'. Itu pasti. Bisikkan tersebut juga menyertai sebuah rasa yang belum pernah aku rasakan sebelumnya.

Mengetahui dirinya sedang diperhatikan, Astrid lantas menengok padaku sambil tersenyum simpul. Sungguh terlihat begitu cantik. Jernih bola matanya seketika menghunjam hatiku. Sempat-sempatnya aku merasa kikuk, padahal aku sudah cukup terbiasa dalam menghadapi perempuan.

Ia kemudian berpaling, mengambil sesuatu, dan lantas berlalu. Meskipun cuma beberapa detik kontak mata dengannya, bagiku sudah sangat bermakna. Entah kenapa saat itu aku tidak segera mengejar untuk mengajaknya berkenalan. Mungkin aku merasa kondisi tersebut hanyalah satu kebetulan saja, bertemu dengan sosok gadis yang ayu mempesona. Hal biasa, itu saja. Namun, ternyata aku salah. Sepanjang jalan dan bahkan pada hari-hari berikutnya, sosok Astrid tidak bisa hilang dalam ingatan. Wajah cantiknya, lucu gayanya, juga seksi tubuhnya. Aku benar-benar telah jatuh hati. Sesuatu yang tidak dapat aku usir dengan cepat.

Semenjak itu, aku seringkali meluangkan waktu untuk mencarinya. Terkadang menelusur jalan-jalan di sekitar lokasi pertemuan, dengan harapan dapat bertemu dengannya lagi. Terkadang pula aku berkunjung ke rumah gadis yang tempo lalu kuajak jalan, dengan tujuan sebenarnya adalah mampir ke Supermarket Sumberayu, tempat aku bertemu dengan Astrid.

Namun hasilnya selalu nihil.

Sampai beberapa bulan kemudian, aku tengah mengantar temanku membeli kaset pita, Metallica The Black Album, ke pusat perbelanjaan Ramayana —berjarak sekitar empat kilometer dari Supermarket Sumberayu. Di sana aku melihat Astrid, yang datang lebih dahulu dan sedang memilih-milih kaset.

Seperti kejatuhan bulan, aku segera meminta pada temanku untuk membiarkanku jalan sendiri, dengan alasan yang akan kujelaskan belakangan. Temanku pun mengerti. Kami setuju untuk berpencar.

Astrid datang sendirian, tengah melihat pada satu kaset dengan wajah serius. Ia mengenakan baju kodok pendek berbahan Levis dengan kaos belang-belang cerah. Rambutnya hitam lurus terkuncir ekor kuda. Pokoknya demikian menggemaskan. Bahkan jikalau aku terlahir sebagai wanita, sepertinya aku tetap akan suka kepadanya. Hahaha.

Sore hari istimewa itu aku ingin mengajaknya berkenalan. Nekat mendekat sambil berpura-pura ikut memilih kaset. Ternyata ia lebih dulu menengok padaku sambil tersenyum ramah. Wah, pucuk dicinta. Aku pun bergerak makin mendekat.

Namun, aku canggung. Sungguh, aku tidak pernah secanggung ini ketika berhadapan dengan perempuan, siapa pun itu.

Lihat selengkapnya