Ketika masih kecil, aku pernah diramal oleh seseorang. Katanya; kamu akan mati pada tahun 1998. Saat itu aku masih berusia delapan tahun, sekitar awal tahun 75'.
Aku ingat, pada siang hari ayahku pulang di jam istirahat kerja. Saat hendak kembali, ternyata ada berkas miliknya yang tertinggal. Beliau naik motor Honda Pispot, baru saja melaju lamban meninggalkan rumah. Aku lantas mengejar ayahku dengan berjalan cepat setengah berlari sambil terus memanggil-manggil. Saat berada di depan rumah, ada seorang pengemis tua yang berpakaian lusuh. Tanpa pikir panjang kuberikan uang kepada pengemis itu. Namun karena sedang terburu-buru, tindakanku seakan-akan seperti melempar uang, bukannya memberi. Sekembali aku ke rumah, sang pengemis tua kemudian berkata tentang ramalan itu.
Waktu terus berlalu. Hingga usia dewasa, aku tidak juga mengerti, atas dasar apa laki-laki tua itu berkata demikian. Entah merasa tersinggung atau hanya memperingatkanku saja, aku pun belum paham. Padahal kalau saja dia tahu, pandanganku pribadi, sama sekali tidak percaya terhadap ramalan dengan kadar seribu persen.
Aku merupakan orang yang berpikir realistis. Berpasangan dengan Astrid, orang yang juga berpikir realistis. Jelas, kami adalah keluarga realistis. Hahaha.
Baiklah ... kembali pada kejadian saat aku sedang berupaya menggapai cintaku.
Setiap hari libur, aku selalu menyempatkan diri untuk tinggal di rumah sederhana seluas lima puluh meter persegi yang kubeli seharga dua puluh lima juta dari seorang penjual yang butuh dana segar. Kala itu harga bensin masih tujuh ratus rupiah. Tanpa berlama-lama, aku langsung membeli tanpa menawarnya. Sungguhku tak mampu berjauh-jauhan dengan Astrid.
Hampir tiap hari aku berkunjung ke rumahnya. Bahkan dia juga pernah datang ke rumahku, beberapa kali. Kami banyak membicarakan tentang kesukaan masing-masing. Astrid menyukai musik rock, sementara aku menyukai musik pop. Astrid suka pedas, sedangkan aku suka manis. Aku terang, Astrid gelap. Aku atas Astrid bawah. Pokoknya banyak perbedaan arah. Dari sana aku makin mengenal sosoknya. Ternyata ia merupakan individu yang berpikir baik tentang masa depan. Punya visi dan misi yang bagus sekali. Aku makin suka. Aku senantiasa mendorongnya untuk sama-sama bekerja keras. Singkat kata, Astrid kian terlihat cerdas dan menyenangkan apabila berbicara, meskipun perempuan berkulit putih itu lebih seringnya diam.
Oh, ya, ada beberapa hal yang spesifik ketika aku tinggal di wilayah pinggiran Jakarta ini. 'Lingkungan' rupanya memang memegang peranan signifikan dalam membedakan sistem sosial dan prilaku masyarakat. Lain ladang lain belalang. Meskipun terdapat kelebihan dan kekurangan masing-masing, bilamana ditilik lebih jauh.
Jadi, kondisi tempat tinggal di wilayah pinggiran ini agak mengkhawatirkan. Benarlah apa-apa yang pernah dikatakan Nenek Yussi. Masyarakat di sini tergolong barbar dan penuh kekerasan. Hampir setiap hari ada orang yang baku hantam. Laki-laki, perempuan, anak-anak, remaja, sampai orang dewasa tak kenal waktu berada di luar, serasa sulit untuk menikmati hidup di dalam rumah. Omongan yang terdengar selalu kasar dan kotor, seperti orang yang tidak punya pendidikan. Buang sampah sembarangan. Wangi ganja sering tercium di jalanan, bahkan tempatku memarkirkan mobil kadang suka ada jarum suntik bekas pemakai narkotik.
Selain itu terdapat pula hal-hal yang membuatku geli hati. Pada waktu siang, khususnya. Banyak para pedagang yang lewat sembari berteriak-teriak atau membunyikan benda-benda. Pedagang gerobak tape, rujak, minyak goreng, pecel, bakso, roti, sol sepatu, koran, sayur buntil, kembang tahu, kecrek tukang patri, dan masih banyak lagi pedagang nyentrik lainnya. Sesuatu yang sangat jarang kutemukan di kawasan Menteng, tempatku tinggal semenjak kecil.
Ya. Seperti itulah keadaan lingkungan dan domisili dari perempuan yang kupuja. Pemilik bibir merah muda serta lesung pipit di kedua pipinya. Lantaran aku benar mencinta, maka aku tidak melihat itu semua. Hanya melihat dirinya saja.
Satu kejadian buruk tetapi cukup penting dan akhirnya menjadi sesuatu yang baik adalah ketika aku mengajak Astrid menonton film di bioskop Ramayana. Rencananya selepas pulang kerja. Namun Astrid bilang, jika besok ia mau menjenguk rekan kerjanya yang sakit terlebih dahulu. Akhirnya kami janji ketemuan selepas Isya di sebuah warung makan.