BUKAN KISAH SINETRON

Rudie Chakil
Chapter #7

Pendusta!

Kenangan. Bagaikan uap kopi yang berbaur dengan udara. Tak akan hilang kecuali telah merasuk bersama napas yang kita hirup. Seseorang yang pernah merasakan jenjang pernikahan, pasti akan paham, konflik yang terjadi saat berpacaran tidaklah sama dengan saat sudah menikah. Atau, mungkin, bisa jadi sama mengenai perihal konfiknya, akan tetapi rasa pahitnya jelas berbeda. Saat masih pacaran, ibaratnya, tahi kucing rasa cokelat. Namun bila sudah menikah, tahi kucing akan serasa seperti tahi anjing.

Makanya sekali lagi aku berpesan, berhati-hatilah dalam memilih pasangan, karena akan menjadi 'sejarah diri' bagi setiap orang. 

Momen-momen indah sepanjang masa menjalani hidup bersama Astrid hanyalah pada saat-saat awal menikah. Mendengar keluhan sepanjang hari pun tetap membuatku bahagia. Mengalah demi memuaskan dirinya juga masih membuatku lega hati. Semua tampak taburan bunga di mana-mana. Adapun mengenai kenangan estetis, yang paling kuingat adalah urusan seks dan urusan uang.

Aku pernah meminta pada Astrid supaya mengenakan bikini ketika berada di dalam kamar. Padahal aku mengatakan hal tersebut tidak mutlak untuk dipatuhi, cuma untuk iseng-iseng berhadiah saja. Namun, entah bagaimana jalan pikiran femininnya, Astrid malahan menyetujuinya. Sebab aku yakin, rata-rata wanita pasti akan menolak untuk melakukannya dan menganggap bahwa itu adalah pernyataan gila. Jelas berbeda dengan jalan pikiran laki-laki, yang justru senang akan hal itu.

Jadi, saat awal-awal menikah, setiap kali kami berada di kamar, Astrid hanya mengenakan bikini saja. Entah sedang membaca, sedang main Nintendo, atau cuma sekadar berbincang-bincang. Hal tersebut jelas membuatku makin mencintainya. Hahaha.

Untuk urusan uang, ia pernah berkata amat santun kepadaku. Kala itu aku sedang mengajarkannya cara mengemudikan mobil. Saat itu ia terlihat amat canggung memegang setir mobil sambil menatap jalan lewat kaca depan. Seperti orang yang baru pertama kali duduk di kursi kemudi. Aku bilang padanya; aku minta jatah nanti malam.

Astrid tersenyum manja dan berkata; enggak usah ngomong deh, giliran dikasih juga gak ada staminanya.

Aku pun membalas; Semalam aku baru pulang layar, sekarang-sekarang mah stamina sudah oke. Kulihat wajahnya dari samping, sungguh mempesona. Namun berselang tak lama setelah itu ia menghentikan laju kendaraan. Wajahnya pun berubah menjadi datar.

Enak ya jadi orang kaya. Kata dia seperti itu.

Ah, ini adalah satu kondisi ketika dirinya benar-benar sedang bicara dari hati. Ini kesempatanku untuk menyenangkan dirinya. Aku sungguh tak menyangka dia begitu polos. Padahal biasanya dia begitu kompleks.

Aku tertawa, kemudian berujar; berjanjilah padaku untuk wujudkan mimpi kamu, menjadi orang paling kaya di kampung ini. Mendengar itu ia pun menggenggam tanganku.

Sebenarnya masih banyak kejadian-kejadian kecil yang terus terbayang dalam ingatan. Aku membantu melakukan pekerjaan rumah, memenuhi segala keperluan dirinya dan kebutuhan keluarga, membelikan motor, barang-barang elektronik, sampai-sampai mengantarkannya ke salon, pulang pergi kerja, berbelanja, dan hal-hal yang lain. Pokoknya aku sangat memanjakan dirinya.

Seharusnya ia bisa menjadi manusia yang lebih bersyukur. Pada kenyataannya, tidak! Meskipun ia telah mendapatkan kehidupan yang jauh lebih baik —beda drastis dengan saat sebelum bertemu denganku, gajinya selalu habis untuk kebutuhan keluarganya. Ia tiada bersyukur dan tetap menjadi pribadi yang mau menang sendiri. Aku yang sudah sangat berusaha untuk tidak menyakiti perasaannya dalam kondisi apa pun, tetap saja menjadi bulan-bulanannya setiap hari. Ia seolah terus menghilangkan keberadaan diriku sebagai pasangan hidupnya.

Lihat selengkapnya