BUKAN KISAH SINETRON

Rudie Chakil
Chapter #8

Aib Cinta

Sebenarnya aku telah menaruh curiga sejak lama, atau boleh dikatakan, sudah mengerti akan karakter Astrid yang gemar berselingkuh. Namun aku tetap berusaha berpikiran positif. Masih menganggap kalau rentetan peristiwa yang menjurus ke sana hanyalah perkara sandiwara belaka. Dalam hati kecil, aku merasa dirinya tidak akan melakukan perbuatan laknat tersebut secara bersungguh-sungguh. Aku percaya, bahwa dia mencintaiku sama seperti aku mencintainya.

Astrid memang perempuan yang menarik, ramah, cair, dan menyenangkan bagi siapa saja. Apalagi bagi manusia berjenis kelamin jantan. Ia punya magnet kuat untuk membetot hasrat mereka. Ada sepercik rasa bangga padaku dalam hal ini, tetapi kalau masalahnya berpaling cinta, aku benar-benar tidak bisa memaafkan.

Rasa gerah seperti berada dalam sauna membuat kecurigaanku makin tak terbendung, hingga aku memastikannya lewat Nenek Yussi. Takut-takut Astrid memang ada main di belakangku. Ternyata kebenarannya mulai tampak meskipun samar-samar. Bagai menatap kejadian di balik kaca berkabut yang perlahan menghilang.

Aku mendapat info dari Nenek Yussi dan beberapa tetangga kami, bahwa kenakalan Astrid sudah berlangsung cukup lama. Belakangan ini intensitasnya kian menjadi.

Oh, sungguh, kenyataan tidak berpihak padaku. Astrid jelas-jelas telah mengkhianati cintaku. Sulit, teramat sulit bagiku. Rasa sayangku padanya tidak mungkin pudar. Dengan sengaja aku tidak menegurnya demi menjaga hubungan kami supaya tetap kondusif. Aku sangat berharap, dia mampu berkata jujur padaku, tanpa aku yang harus memulainya lebih dahulu.

Nihil...

Astrid tak kunjung merasa bersalah. Aku pun tegas mengambil sikap, dengan tetap bertahan untuk tidak luluh kepadanya. Cuma orang tolol yang menganggap biasa saat melihat ketidak-benaran menyertai lingkup rumah tangganya. Dia pun jelas paham tentang sikapku, tapi sikapnya tampak meremehkan. Dia pikir aku hanya ambek lantaran kejadian sore hari selepas mengantar Fauzan ke rumah. Padahal, tidak cuma itu. Ya, aku memang marah melihat perlakuannya kepada sang ibunda. Namun aku lebih marah ketika dia tidak terbuka soal silaturahmi tak wajar dari teman SMA-nya itu.

Lagu lama pita kusut. Ketika aku tegur, dia pasti menggiring opini ke arah permasalahan ketika aku membela Nenek Yussi saat berdebat di rumah. Pokoknya, apa pun bentuk keributan, ia pandai berkilah dan selalu menganggap ringan tentang perasaan orang lain. Tentang perasaan orang-orang di sekitarnya. Aku, utamanya.

Selama berhari-hari, aku merasa tergamang dengan kondisi canggung yang terjadi di antara kami. Dalam ikatan satu hubungan, suasana rumah bagai kuburan di puncak gunung Halimun. Hening, sepi, senyap dan kelam. Sungguh tidak enak. Dan seperti biasa, Astrid merasa tidak ada masalah sama sekali. Kiamat besar terjadi di langit Jakarta apabila ia sampai bertanya tentang perubahan sikapku. Satu hal yang tidak mungkin. Boro-boro untuk memulai minta maaf terlebih dahulu, niat untuk tahu kenapa sikapku berubah saja, tidak. Pasti aku yang selalu memulainya untuk menarik simpul. Selalu seperti itu. Lucunya, ketika ada kepentingan, dengan mudahnya ia merayu dan meminta padaku. Sikapnya macam tidak ada kejadian apa-apa.

Benar saja. Astrid kemudian menghampiriku yang sedang duduk santai di kursi ruang tamu, kemudian meminta uang. Katanya untuk acara kantor yang akan diadakan pada hari Sabtu dan Minggu besok. Sebagai seorang suami yang baik, tentu saja aku luluh, meski dalam hati aku punya prinsip jika masalah ini tetap harus diselesaikan.

Aku ingat benar, hari itu hari Rabu. Sementara hari Kamis aku harus pergi bekerja. Aku tidak punya cukup waktu untuk menyelesaikan masalah ini sampai tuntas.

Lihat selengkapnya