BUKAN KISAH SINETRON

Rudie Chakil
Chapter #9

Darah Merpati

Aku lupa, hari itu Selasa atau Rabu, yang jelas Astrid sedang tidak di rumah, sedang di kantor. Aku menjaga Fauzan yang sedang bermain di lantai ruang tamu, mengejar-ngejar helikopter Airwolf yang bisa bergerak jalan. Maklum, kegemaranku menonton film serial helikopter tempur itu, jadi aku belikan dia mainannya.

Tak terasa mataku meleleh, lalu meneteskan cairan di pipi kanan. Aku iba pada semata wayang kami yang sedang lucu-lucunya ini. Di sisi lain, bagiku perbuatan mendua alias selingkuh memang tidak bisa dimaafkan.

Pusing. Aku sungguh pusing.

Terpikir olehku beberapa opsi. Pertama, aku akan ajak Astrid bicara, kemudian selesaikan masalah secepatnya. Ke-dua, aku pergi dari rumah sampai batas Astrid menghubungiku untuk pulang. Ke-tiga, aku tak bertanya apa-apa, ambil sikap masa bodoh terhadap masalah perselingkuhan ini dan hanya melakukan aktivitas seperti patung hidup saja, sampai andaikata nanti ada kondisi yang berbeda.

Baru saja aku hendak mengambil keputusan karena merasa condong pada salah satu opsi di atas, sebuah hal tak biasa datang pada hari itu. Sepertinya kenyataan mulai berpihak padaku.

Aku mendengar suara tukang pos yang mengantar paket di depan pintu rumah, sebuah boks tertutup selebar jengkalan tangan. Pengirimnya bernama Indri. Penerimanya ditujukan untuk Astrid. Aku pun meletakkan paket tersebut di atas laci kamar, lantas kembali beraktivitas bersama Fauzan.

Malam harinya, Astrid berteriak keras setelah membuka kiriman tersebut. Aku masuk kamar dan bertanya ada apa. Astrid menjawab tidak ada apa-apa. Hanya terkaget ketika membuka paket kiriman. Ternyata isinya adalah dua buah kepala burung merpati yang sudah terpotong. Darahnya pun masih membekas. Astrid berkata itu cuma kiriman dari orang iseng yang bernama Indri. Padahal aku tahu, Indri adalah istri dari pria selingkuhan Astrid. Paket tersebut adalah pertanda ancaman, supaya Astrid segera memutus hubungan terlarang itu.

Ya. Niat baik akan terkoneksi dengan satu kondisi yang sama-sama baik. Kemungkinan, selain aku yang menyelidiki tentang perselingkuhan Astrid, pasangan dari selingkuhan istriku itu juga menyelidiki gerak mereka. Mungkin saja. Buktinya, ultimatum berupa simbolisme dari isi paket tersebut dikirim.

Seharusnya hal ini bisa membuat Astrid sadar serta meminta maaf kepadaku. Harusnya. Tapi setelah kutunggu-tunggu momentum itu tak kunjung datang. Jujur saja, aku hendak mengambil opsi ke-dua, pergi dari rumah dan bersikap masa bodoh. Lantaran timbul kejadian paket ini, aku berbelok pilihan pada opsi ke-tiga, yakni tetap tinggal di rumah. Aku merasa Astrid tetap berhubungan dengan selingkuhannya itu setiap hari. Entah lewat telepon, atau saat jam istirahat kerja, atau dalam waktu dan kesempatan lainnya. Yang pasti, kondisi rumah tangga dari pria selingkuhan istriku juga sedang panas-panasnya.

Berselang waktu dua hari, aku tidak mau lagi bertanya tentang maksud isi paket itu, karena kemarin Astrid sudah menjawabnya. Jikalau aku desak dengan pertanyaan lanjutan, ia pasti marah dan bersikukuh kalau itu hanyalah kiriman dari orang iseng bernama Indri. Sikapnya saat di rumah pun biasa saja, sungguh-sungguh merasa kalau paket atas nama dirinya itu bukan sesuatu yang penting.

Ya sudah, aku tetap ikuti ukuran waktu darinya.

Lusa hari berikutnya, terjadi hal serupa. Pada siang hari aku menerima paket dan menunggu Astrid datang untuk melihat isinya. Padahal tanganku sangat gatal ingin sekali membukanya lebih dahulu. Tapi aku masih punya adab sebagai seseorang yang tidak serampangan.

Sore hari ketika Astrid datang, kami lihat sama-sama isi paket tersebut. Ternyata isinya adalah sebuah pisau yang berlumuran darah beserta selembar kertas. Ah, ini tentu perkara yang lebih krusial. Paket ancaman ini serasa lebih menyeramkan dari sebelumnya. Aku lalu melihat selembar kertas seperti karton yang terkena cairan merah itu.

Lihat selengkapnya