BUKAN KISAH SINETRON

Rudie Chakil
Chapter #11

Bulan Penuh Air Mata

Mei 98'. Aku menyebutnya bulan penuh air mata. Apakah mengenai sejarah kelam bangsa ini? Ya, benar ... tapi juga, tidak! Maksudku, apabila tentang catatan sejarah pergantian orde dan tragedi besar dalam perpolitikan Indonesia, memanglah benar adanya. Namun dalam kontes ini 'sejarah kelam' yang kumaksud bukan bersumber dari sana, melainkan dari kisah hidupku sendiri. Sejarah bersama perempuan yang paling aku cintai di dunia ini. Astrid.

Bicara tentang cinta, aku begitu mendalami makna tentangnya. Semenjak kami berkenalan, lalu berpacaran, tunangan, ke jenjang pernikahan, sampai menjalani kehidupan berumah tangga, aku sudah mencoba melakukan yang terbaik yang bisa kulakukan. Bagaimana caranya mencintai seorang perempuan, aku jelas paham. Karena itulah aku amat peduli, serta selalu memaafkan segala kesalahan dari pasanganku yang berperangai buruk itu.

Urusan politik dan pemerintahan negara ini terlalu besar buatku. Serius. Bukan berarti aku tak cinta tanah air. Berbuatlah sesuai dengan kapasitas diri kita masing-masing. Masalah yang datang saja enggak kira-kira besarnya, terus mau jadi ahli komentar tentang perubahan bangsa? Intinya urusan pribadi musti diselesaikan lebih dahulu ketimbang urusan publik, terkecuali bagi orang-orang baik yang punya kepedulian tinggi, atau justru bagi orang-orang jahat yang punya ambisi pribadi.

Bulan Mei 98', menjadi bulan terparah dalam sejarah hidupku. Bulan ketika kakek dan buyut kami —ayah Nenek Yussi— mengalami sakit keras. Bulan ketika Fauzan menjadi anak yang bernasib kurang beruntung. Bulan yang juga menjadi akhir dari hubunganku dengan Astrid.

Saat itu hari Senin sore menjelang Magrib. Aku baru saja pulang berlayar, baru satu jam setelah menginjakkan kaki di rumah. Astrid juga saat itu baru pulang kerja.

Saudara dari kampung memberi kabar lewat telepon, jika kakek mereka butuh dijenguk karena kondisi sakitnya sudah sangat memprihatinkan. Nenek Yussi amat khawatir, segera meminta kami untuk pulang kampung atau mengantarnya, guna melihat bagaimana kondisi sang ayah —kakek kami. Sedangkan Astrid ada rapat penting pada hari Selasa, Rabu dan Kamis besok. Nenek Yussi tidak bisa menunggu sampai beberapa hari ke depan, maksimal harus berangkat besok pagi.

Enggak bisa ... takut-takut enggak ada waktu lagi untuk bertemu. Begitu katanya. 

Nenek Yussi segera menghubungi satu orang kakak Astrid yang bersedia untuk mengantar pulang kampung. Kami pun mempersilakan beliau untuk berangkat duluan.

Namun yang jadi perihal masalah adalah; apakah Fauzan tetap di rumah, atau ikut pulang kampung? 

Diskusi yang awalnya tenang dan ramah, lambat laun berubah menjadi perdebatan sengit di antara kami. Astrid ingin agar Fauzan tetap berada di rumah, sementara aku dan Nenek Yussi maunya Fauzan ikut pulang kampung. Biar bagaimanapun, Nenek Yussi adalah orang yang mengasuhnya sejak kecil. Bahkan, Fauzan sendiri lebih memilih untuk ikut dengan neneknya.

Kesepakatan akhirnya terjadi. Astrid akan mengambil cuti pada hari Jumat besok untuk pulang kampung, sekaligus juga untuk menjemput Fauzan. Itu pun bilamana Nenek Yussi masih benar-benar diperlukan di sana, kami akan memaklumi beliau untuk tinggal sementara di kampung.

Hari Selasa siang, ketika Nenek Yussi dan Fauzan sudah tidak ada di rumah, saat itulah awal mula dari petaka yang berakibat fatal dalam sejarah hidup kami. Siang itu aku menerima kiriman dari tukang pos. Paket boks tertutup dari pengirim yang sama, Indri, serta ditujukan atas nama Astrid. Aku heran saat menerimanya. Aku pikir, ini sudah selesai sejak satu bulan yang lalu, ketika Astrid menyadari kesalahan dan tidak akan mengulangi perbuatan selingkuhnya.

Tahi anjing dibungkus permen cokelat!

Ya. Astrid melakukan perbuatan selingkuh lagi. Mungkin hari Sabtu atau malam Minggu kemarin. Dasar, Sundal! Tobatnya seorang perempuan sundal adalah tobat sambal. Berjanji tidak akan melakukan tapi ternyata melakukannya lagi. Manusia jenis apakah yang bersifat seperti itu jika bukan perempuan keparat?

Aku pun membuka paket tersebut tanpa menunggu Astrid pulang. Aku amat terkejut melihat boneka Barbie perempuan berambut pirang, seperti Astrid. Setelah aku angkat, ternyata kepala boneka tersebut sudah terpotong. Aku membaca secarik keras di bawah boneka; Kamu akan mengalami hal yang sama dengan boneka ini.

Lihat selengkapnya