Dua hari yang lalu, hari Selasa, iklim perpolitikan Indonesia sedang tidak baik-baik saja, khususnya di Ibukota Jakarta. Tragedi berdarah yang memakan korban jiwa sampai empat orang.
Para mahasiswa dari berbagai kampus bersatu padu, berdemonstrasi demi menuntut beberapa hal. Utamanya adalah gerakan reformasi pada pemerintahan yang berdaulat, atau upaya penggulingan kekuasaan terhadap Presiden Soeharto. Di samping itu, masyarakat juga mendengar adanya desas-desus pergantian orde, aparat negara, rasisme, kepanikan massal, kerusuhan, serta nilai tukar rupiah yang semakin anjlok.
Namun, seperti yang sudah kubilang. Aku tidak urun rembuk dengan permasalahan politik dalam ataupun luar negeri. Aku lebih sibuk memikirkan urusan hidupku sendiri.
Saat itu aku sedang berada di lapak kelapa Joni. Hari Kamis siang.
Joni sebenarnya orang yang baik dan menyenangkan, tetapi kurang enak untuk diajak konsultasi. Bukan pula kapasitas dirinya untuk mendengar keluh kesahku. Cukup menjadi orang yang dapat kuandalkan dalam kerja sama mengembangkan usaha, aku sudah menghargai akan keberadaan dirinya. Jadi bilamana kami sedang berbincang-bincang, pembahasannya pastilah tentang rencana bisnis masa depan. Tidak lebih.
Semalam aku mabuk parah sampai pagi. Hingga siang ini kepalaku pun masih terasa pening. Aku tengah menikmati es kelapa muda sembari membacok-bacokkan batok kelapa dengan golok di tangan kanan.
Astrid tiba-tiba meneleponku. Ia berkata; aku sudah selesai meeting, apakah bisa berangkat sekarang?
Aku menjawab; Lihat besok saja, rencana perginya kan besok. Sungguh, konteksnya bukan karena aku tidak bisa mengantarnya pulang kampung. Namun aku masih ambek paska mengetahui Astrid tetap berselingkuh dan ingkar janji. Perempuan bersuara lembut itu tidak tahu kalau aku sudah mengetahui perbuatan selingkuhnya. Ia juga tidak tahu tentang kiriman paket berisikan boneka Berbie, lantaran aku sembunyikan setelah membukanya. Dan seperti biasa, istriku yang manja dan keras kepala itu jelas merasa tidak ada masalah apa-apa.
Astrid lalu memintaku untuk menjawab tegas; Bisa atau enggak?
Aku bilang padanya; Nanti dulu. Berikan aku waktu sekitar satu jam.
Jawaban itu lantas tidak membuat Astrid merasa puas. Ia langsung menutup telepon. Sikapnya sungguh kentara, ia akan berangkat sendirian. Aku duduk tenang sambil terus membacok-bacokkan ampas kelapa muda. Kepalaku masih saja keliyengan bekas mabuk semalam, ditambah masalah yang kian datang menghantam pikiran.
Sesaat kemudian aku melihat seorang pria tua berdiri di muka kios. Bila kuingat, sisi perawakannya hampir mirip dengan pengemis yang dahulu pernah meramalku saat kecil. Tua-nya pun sama. Aku seperti merasakan dejavu dengan si kakek pengemis. Padahal kemungkinan besar ini adalah orang yang berbeda.
Aku pun segera memberikan padanya uang dua puluh ribu rupiah. Serius. Pada masa itu nominal tersebut sudah terbilang cukup banyak. Mie ayam saja seharga Rp.650, dan kelapa muda satu buah seharga Rp.800 —namun untuk waktu setelahnya, nilai tukar rupiah menjadi sangat buruk, memaksa harga-harga melambung tinggi.
Pengemis tua itu terkejut. Kedua tangannya lalu menggenggam uang yang kuberikan di depan dada. Ia memandangku sambil berkata; semoga kamu sukses, sehat, dan terbebas dari segala masalahmu. Insya Allah akan lekas terjadi.
Setelah itu ia tersenyum, berbalik arah dan kemudian berlalu.
Ah, ini bukan ramalan, melainkan sebuah doa. Kalau doa aku percaya, berbeda dengan sebuah ramalan. Hatiku pun menjadi agak lunak. Aku akan menghadapi ini dengan tenang.
Aku segera beranjak pulang, dengan niat baik mengantar Astrid ke kampung, serta untuk bertemu dengan Fauzan.
Situasi dan kondisi jalan saat itu lebih ramai dari biasanya. Mungkin isu yang berkembang mengenai iklim panas dunia perpolitikan Indonesia membuat masyarakat merasa gerah untuk berada di dalam rumah. Sepanjang jalan aku melihat ramai orang dari yang tua sampai anak-anak. Laki-laki ataupun perempuan. Semua beraktivitas di luar rumah, entah mau apa.
Sesampainya di perempatan ujung jalan menuju rumah, aku melihat Suzuki Baleno-ku sedang melaju pelan dari arah yang berlawanan. Terlihat Astrid seorang diri mengemudikan. Kebetulan, aku juga sedang menggunakan mobil dengan meminjam satu unit kepunyaan ayahku. Toyota Crown.
Mengetahui hal tersebut, aku langsung memutar arah demi mengikuti mobil silver Astrid, terus membuntutinya pada jarak sekitar dua puluh meter.
Selang beberapa saat, mobil pun berhenti, menaikkan seorang penumpang yang menunggu di pinggir jalan. Aku pikir itu adalah pria selingkuhan istriku, tetapi ternyata tidak. Aku kurang jelas mengenai identitasnya. Perempuan itu bertubuh langsing dan berkulit eksotis. Siapa dia, apakah perempuan itu adalah Indri? Ah, tidak mungkin! Yang benar saja? Mungkin dia merupakan teman kantornya Astrid. Atau ... mungkin, dia adalah orang yang aku tahu, tetapi aku tidak kenal dengannya secara personal.
Oke. Aku akan terus membuntuti ke mana laju arah mobil silver milikku itu.
Mobil berbelok keluar dari jalan kecil menuju jalan yang lebih lebar. Dari kaca depan, terlihat banyak sekali orang di jalanan. Awalnya kupikir hanya ada insiden seperti kecelakaan, atau maling yang tertangkap warga. Ternyata, tidak. Tindakan mereka seperti hendak berperang. Ada yang membawa balok kayu, besi panjang, senjata tajam, sampai menenteng jeriken minyak tanah.
Ya, aku baru sadar. Ternyata tuntutan mahasiswa yang berakhir dengan kericuhan dan memakan korban pada dua hari yang lalu itu telah memicu masyarakat untuk melampiaskan kemarahan. Semua orang turun ke jalan dan melakukan perbuatan anarkis.
Aku tak menyangka jika pada hari Kamis tanggal 14 Mei di waktu siang menjelang sore itu akan menjadi sebuah tragedi kerusuhan masal. Aku menjadi saksi atas sejarah kelam bangsa Indonesia. Pemandangan yang sungguh sangat menyeramkan. Menyeluruh secara cepat bagai gelombang tsunami yang menyerbu kawasan perkotaan.