Pangeranku bertambah jauh. Sudah beberapa hari ini tidak ada sapa. Arimbi melewati hari-hari dengan datar, tanpa ada SMS, telepon, pesan singkat di Facebook Messenger, ataupun email dari pangeran impiannya.
Arimbi paham lelakinya berniat menghapus jejak, mengurangi rindu yang semakin menyiksa. Lelaki pujaannya meleburkan diri ke dalam padatnya aktivitas pekerjaan dan deadline yang tak henti-henti mengejarnya setiap detik.
Namun, Arimbi merasakan kekosongan. Kekasihnya hanyalah tumpukan dokumen kantor, layar PC yang membosankan, percakapan basa-basi dengan klien media, dan sekedar tawa ringan teman kantor.
Datar. Layaknya jalan tol Ciawi yang mulus, atau rambut panjang model catwalk yang hitam berkilau, namun mungkin rontok atau penuh ketombe di balik pesonanya.
Sang "Penjaga Kubur"? Huh, aku tidak peduli! Meski tanpa kabar, bahkan sekedar menoleh rasanya enggan, apalagi menanyakan kabar.
—-
Hans Ervebriano. Aku mengenalnya tiga tahun lalu dari seorang teman lama. Tidak pernah terpikir olehku untuk menjalin hubungan dengannya. Wajahnya biasa saja, jauh dari bayangan laki-laki impian yang hadir dalam mimpiku sejak kecil.
Dorongan kuat untuk merasakan cinta membuatku setuju menjadi kekasih Hans. Namun, getaran asmara yang kudamba tak kunjung terasa. Aku tidak mengerti hubungan macam apa yang sedang kujalani bersama Hans, si "Penjaga Kubur"…
Hanya bayangan wajah kedua orang tuaku yang selalu mengganggu. Menanti dengan penuh harap, kapan darah daging mereka akan menentukan laki-laki yang menjadi jantung hatinya.
—-
Mami dan Papi adalah orang-orang paling berharga dalam hidupku. Mereka ideal karena tak pernah meminta balasan atas semua yang sudah mereka berikan, sama seperti orang tua lainnya.
Mereka selalu memberikan cinta tanpa pamrih. Papi kini pensiunan pegawai negeri, yang kembali dipekerjakan negara. Mami, ibu rumah tangga yang jagoan, tak pernah bosan mengurus kebutuhan suami dan anak-anaknya.