Pagi ini, baru lima menit tiba di kantor, mami sudah menelepon untuk mengingatkan bahwa nanti malam akan ada makan malam ulang tahun Krisna.
“Jadi jangan pulang terlambat. Jangan lupa ajak Hans untuk datang. Mami bakal masak bubur Manado plus ikan asin favorit Krisna, kentang bakar, semur lidah, mi goreng, puding coklat, dan tempe bacem,” kata mami.
“Tempe bacem?” Tanyaku geli mendengar menu spektakuler terakhir yang disebutkan. “Gak nyambung banget, Mi, haha.”
“Iya, papi kamu kan suka banget sama tempe bacem.”
“Ini ulang tahun siapa sih? Kok ada tempe bacem? Gak matching sama menu yang lain,” sambungku.
“Udahlah, kan buat papi. Nanti malah gak makan gara-gara gak ada tempe bacem,” jawab mami dengan nada bersungut-sungut.
“Iya deh,” jawabku mengiyakan, walaupun dalam hati masih bingung. “Tumben banget, biasanya kalau ada acara perayaan gak ada tuh tempe bacem, dan papi juga gak pernah protes. Mami pasti lagi salah obat nih, hehe.”
—-
Tepat jam enam sore, handphone-ku bergetar, ada pesan masuk.
[One message received] Hans: Aku udah di parkiran depan.
“Hadeh, musti buru-buru nih gue,” batinku.
[One message delivered] Arimbi: Oke.
Hans paling gak suka menunggu. Dia pasti cemberut dan ngomel sepanjang jalan kalau aku terlambat turun ke parkiran.
Masuk akal, sih. Soalnya selama pacaran, gak pernah sekalipun aku turun tepat waktu ke parkiran. Paling tidak, Hans harus menunggu aku setidaknya tiga puluh menit.
Bagaimana tidak? Merapikan meja kantor, berpamitan dengan teman-teman, lalu mampir ke toilet saja sudah makan waktu dua puluh menit. Belum lagi menunggu lift turun dari lantai sembilan, yang bisa memakan waktu sepuluh menit sendiri.
—-
Benar saja, begitu sampai di mobil, Hans sudah cemberut.
“Lama banget turunnya,” protesnya.
“Iya, tadi aku papasan sama klien yang mau ke kantor agensi di lantai empat. Jadi ngobrol sebentar,” jelasku berbohong.
Aku sering terpaksa berbohong. Hans tidak pernah mengerti kenapa aku selalu lama. Dia menjulukiku: Miss Lelet.
“Duh, macet banget lagi,” keluh Hans.
“Ya iyalah, jam segini Jakarta pasti macet,” sahutku. “Kalau gak mau kena macet, tinggal aja di gunung atau naik helikopter,” sambungku bosan.
“Jutek banget! Baling-baling bambunya Doraemon kalii,” sahut Hans sambil tertawa kecil.