Hari ini adalah hari pertama Lebaran. Seperti rutinitas setiap tahun, kami sekeluarga ziarah ke makam orang tua mami dan papi, lalu dilanjutkan dengan acara sungkeman di rumah.
Sejak kami, Mbak Didi, aku, dan Krisna masih kecil, sungkeman selalu menjadi momen yang menyenangkan. Kami selalu pergi ke rumah YangTi dan YangKung untuk berlebaran bersama para sepupu. Masing-masing keluarga akan menunduk dan meminta maaf kepada YangTi dan YangKung.
YangTi dan YangKung adalah panggilan kami untuk eyang putri dan eyang kakung, orang tua dari mami dan papi.
Ritual sungkeman keluarga besar kami selalu dilakukan bergiliran, dimulai dari keluarga anak tertua, kemudian diakhiri oleh keluarga anak bungsu.
Berasal dari keturunan Jawa Solo, YangTi dan YangKung sangat menjunjung tinggi unggah-ungguh atau sopan santun. Yang lebih tua selalu mendapat giliran lebih dulu. Nilai-nilai ini juga sangat dijaga di keluargaku. Mami dan papi selalu menekankan pentingnya adik menghormati kakak, seperti halnya aku kepada Mbak Didi dan Krisna kepadaku.
Namun, sejak YangTi dan YangKung meninggal dunia, suasana sungkeman berubah. Tidak ada lagi kemeriahan bersama sepupu. Kini, kami melakukannya di rumah masing-masing.
Hari ini, sungkeman terasa berat bagiku. Bukan karena aku tidak mau menghormati orang tua, terutama mami, tetapi lebih karena aku tidak rela harus meminta maaf ketika aku tidak merasa bersalah. Aku paham betul, mami sering memainkan peran seolah-olah dia selalu berada di pihak yang benar.
Setelah sungkeman, kami makan ketupat dan mulai mencicipi kue-kue kering yang sebelumnya toplesnya sudah diselotip oleh mami.
“Boleh makan, tapi nanti pas udah Lebaran. Sekarang belum boleh!” Tegas mami setiap kali kami minta izin mencicipi kue sebelum waktunya.
Handphone-ku berbunyi lagi untuk kesekian kalinya.
“Aduh! Ini SMS Lebaran ke-dua puluh sejak semalam,” keluhku, meletakkan handphone di sofa.
“Muka lo jelek banget, Mbak, haha. Gak bisa bales SMS Lebaran gara-gara gak ada pulsa ya?” Krisna tertawa kecil mengejekku.
“Iya, kesel banget gue! Masa pulsanya gak masuk-masuk dari kemarin. Aneh banget! Ntar anterin gue cari pulsa, ya? Tapi ada yang buka gak ya pas Lebaran gini?” Tanyaku, berharap Krisna bisa menemaniku.
“Nanti gue tanya Pipiet, temennya jualan pulsa. Gue tinggal SMS dia aja. Pulsa berapa?”
“Lima puluh ribu aja, buat jaga-jaga. Gak enak banget kalau gak bisa bales SMS dari klien atau bos. Makasih ya, Kris. Lo bisa bilang ke Pipiet sekarang?”
“Gue bilang sekarang. Biasanya paling lama dua jam sudah masuk. Tapi ini kan Lebaran, provider pasti penuh, semua orang SMS-an bilang minal aidin. Mungkin rada lama, sekitar jam dua kali, Mbak.”
“Iya, gak apa-apa. Gue tunggu ya, Kris. Makasih.”
“Siap.”
SMS terus berdatangan, tapi sekitar pukul 14:38, handphone-ku kembali berbunyi.
“Masuk juga akhirnya pulsanya,” batinku lega.